Kamis, 09 Agustus 2012

Ramadhan di Istanbul-3

Saling mengundang iftar atau buka puasa sangat penting dalam masyarakat Turki. Keluarga dan teman-teman akan mendapat giliran, bisanya dalam formasi dua atau tiga keluarga sekali mengundang, berhubung rata-rata  apartemen di Istanbul tidak cukup besar untuk menampung sekaligus undangan dalam jumlah yang banyak.

Menu buka puasa dipersiapkan dengan seksama oleh tuan rumah, dan terkadang harus disiapkan sejak paginya, karena beraneka ragamnya hidangan yang harus disiapkan. Meja juga perlu disiapkan dengan seksama dan tidak boleh ada kekurangannya. Jika tamu undangan lebih dari satu pasangan, harus disiapkan dua meja. Satu untuk kaum laki-laki, dan yang lainnya untuk kaum wanita di ruang terpisah.

Peralatan makan terdiri dari tiga jenis porselen yang ditumpuk menurut ukurannya, untuk satu orang. Teratas adalah mangkok untuk sup. Yang kedua adalah piring cekung untuk memakan hidangan yag kedua, biasanya sajian berkuah. Sedangkan piring yang ketiga untuk sajian nasi dan daging atau ayam atau ikan.

Di meja juga wajib adanya salad, yoğurt dan mimimal satu macam makanan pembuka atau disebut mese. Bisa terbuat dari cabe merah besar panggang dan terong ungu panggang yang di telah di kuliti dan dicincang, dicampur dengan minyak zaitun dan air lemon. ataupun juga chickpeas yang direbus dan dibuat pure, kemudian diberi minyak zaitun. Satu jenis golongan pastry, yaitu yang dinamakan börek juga biasanya tak boleh absen dari meja makan.

Ramadhan di Istanbul-2

Selepas shalat tarawih waktu biasanya sudah menunjukkan pukul 11 malam. Karena waktu isya yang jatuh pada sekitar pukul 10 malam di musim panas ini. Adapun waktu maghrib adalah pukul 8:30 malam. Waktu puasa cukup panjang ditambah dengan suhu udara yang sangat panas di musim panas 2012 ini.

Sahur dimulai dari pukul 02.00 pagi, dan berakhir pada pukul 03:30. Khas di Turki, terdapat tukang tabuh drum keliling, yang dinamakan Davulcu. Dia mengenakan baju tradisional Turki, meyandang drum. Satu tangan memegang drum untuk menyeimbangkannya tatkala di pukul, sedangkan tangan satunya memukul drum dengan ritme monoton. Davulcu akan berkeliling di perumahan penduduk guna membangunkan penduduk agar makan sahur. Terkadang diiringi nyanyian juga.

Penduduk yang esoknya akan berpuasa biasanya akan bangun dan menyiapkan makanan sahur yang biasanya berupa sajian sarapan yang terdiri dari teh Turki, roti, selai, keju putih, zaitun, telur goreng dengan sucuk, yaitu semacam sosis berempah khas Turki dan ketimun atau tomat. Umumnya pada saat sahur dan berbuka akan terdengar suara adukan sendok teh yang beradu dengan gelasnya, dari apartemen para tetangga, "ting...ting...ting".

Ramadhan di Istanbul-1

Istanbul, pusat pemerintahan kekhalifahan islam yang terakhir, Ustmaniyyah. Walaupun Istanbul telah menjadi bagian dari negara Republik Turki yang berformat sekuler, namun masyarakat dunia umumnya masih  menganggap Turki sebagai negara islam.

Jejak islam yang begitu dalam di Istabul, kota dengan ratusan menara mesjid, tak lekang oleh waktu dan perubahan format pemerintahan serta silih bergantinya penguasa. Ramadhan, selalu menjadi bulan yang penting, sebagaimana halnya dengan di Indonesia. Semua lapisan masyarakat melakukan belanja ramadhan, lebih banyak dibandingkan untuk keperluan di bulan lainnya, mengingat di bulan ramadhan umumnya masyarakat akan saling mengundang iftar ke rumah antar keluarga dan sahabat.

Penentuan awal puasa di Istanbul dan Turki pada umumnya biasanya menurut kepada ketentuan pemerintah. Tidak seperti di Indonesia yang penentuan tanggal 1 Ramadhan biasanya di warnai dengan berbagai kegiatan dengan memantau hilal, penghitungan secara astronomis, serta berbagai rapat yang di hadiri ormas-ormas islam yang akhirnya penentuan tanggal 1 ramadhan akan ditentukan oleh Departemen Agama.

Teringat masa kecil saya di Bandung, tatkala tepat sehari sebelum ramadhan di mulai, kami diharuskan mandi keramas untuk membersihkan diri sebelum menjalani ibadah puasa. Pada hari itu di kampung kami bedug ditabuh dari pagi hingga sore untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa esok adalah 1 Ramadhan dan malamnya akan diselenggarakan sholat tarawih berjamaah di mesjid. Disini tidak ada keriuhan tersebut, sama saja seperti hari-hari biasa.

Shalat tarawih berjamaah juga diawali pada malam 1 Ramadhan. Mesjid-mesjid umumnya dipadati oleh jemaah. Pelaksanaan shalat tidak diperdengarkan dengan pengeras suara luar, jadi hanya adzan saja yang dikumandangkan lewat speaker. Jemaah wanita, melaksanakan sholat di bagian perempuan yang dibatasi oleh partisi dari kayu olahan, dan di lantai dua. Tentu saja tidak ada yang mengenakan mukena ataupun pakaian shalat khusus. Mereka hanya menggunakan pakaian biasa dan kerudung.

Mesjid penuh, namun tak jauh dari mesjid, sejumlah cafe tetap dipadati oleh kaum pria yang duduk-duduk di kursi-kursi yang sengaja di tata di depan cafe. Mereka asyik menghirup teh turki dari gelas-gelas teh mungil berbentuk tulip. Sebagian menikmati kopi Turki, sambil memainkan sejumlah permainan judi tradisional.

Cafe-cafe tersebut dalam istilah Turki dinamakan Kiraathane. Tentu saja di Turki Kiraathane hanya untuk pria. Lottere dan taruhan pacuan kuda juga merupakan hal umum di Turki, khususnya Istanbul. Dimana-mana bisa dijumpai kios kecil yang menjual lottere. Malah ada badan pemerintah yang mengurusi lottere, yaitu Milli Piyango. Adapun penjual taruhan pacuan kuda biasanya kiosnya cukup besar, kira-kira sebesar toko ukuran sedang, dan dilengkapi sejumlah pasangan meja-kursi dan layar-layar televisi yang terpasang ke dinding, untuk memantau pacuan. Bulan Ramadhan tidak menjadi halangan buat penyuka lottere dan taruhan untuk mencari keberuntungannya.

Senin, 16 Juli 2012

Manisnya ibadah di masjid sang penjamu Muhammad (1)

Sabtu lalu, memang sudah janji dari minggu sebelumnya, aku harus datang ke Eyüp Sultan Camii (mesjid Eyüp) untuk mendengarkan ceramah seorang ulama terkemuka, Şeyfettin Alkan. Aku ada janji untuk bertemu dengan istri temanku Teslime, sehabis mendengarkan ceramah. Dan setelah itu Teslime akan ikut ke rumahku. Janji lainnya adalah untuk bertemu dengan tiga orang santri Indonesia yang telah selesai menuntut ilmu di Istanbul dan telah lulus mendapat gelar hoca (guru agama, lulusan pesantren Turki). Mereka akan segera kembali ke tanah air, namun sebelumnya akan menginap semalam di rumah kami.

Seperti biasa, pengaturan waktuku selalu saja berantakan, dan akhirnya semua pekerjaan rumah baru selesai menjelang waktu dzuhur. Bergegas aku dan anakku, Süleyman yang baru berusia 2 tahun 3 bulan, berjalan ke pertigaan tak jauh dari rumah kami. Kebetulan lewat satu minibus jurusan ke alun-alun Gaziosmanpaşa. beruntung ternyata trayeknya lewat pas di depan terminal otobus Gaziosmanpaşa. Segera aku minta turun dan naik otobus jurusan Eminonü yang siap berangkat. Hampir semua otobus yang berangkat dari terminal ini akan melewati daerah Eyüp, yaitu kecamatan tetangga Gaziosmanpaşa. Alhamdulillah perjalanan lancar, walau deg-degan khawatir otobus tidak melewati daerah dekat mesjid Eyüp, melainkan langsung ke arah Feşhane, gedung pertunjukkan dimana Grup musik Debu pernah mengadakan konser di dalamnya (jalan yang kami lewati terasa asing, rupanya mengambil rute lain). Durak (perhentian otobus) Eyüp ternyata persis di depan kompleks mesjid, dan kami hanya perlu menyeberang saja, senangnya.

Setibanya di mesjid, umat islam memadati halaman mesjid dengan rapat, termasuk halaman luarnya. Bagaimana dengan bagian dalamnya, dipastikan sudah penuh sesak. Sohbet (ceramah rupanya suah selesai, aku terlambat sekali. Dan sedang dipersiapkan shalat Dzuhur berjamaah.

Aku merangsek masuk dari pintu samping untuk bagian perempuan, dan naik ke lantai dua. Kaum wanita memadati setiap jengkal lantai termasuk tangga. Bahkan banyak yang melaksanakan sholat di tangga walau tidak sesuai arah kiblat. aku tidak tahu bagaimana hukumnya dengan hal ini. Sejumlah wanita memperingatkan bahwa di dalam sangat penuh dan nanti anakku bisa menangis di dalam. Tapi kuputuskan tetap masuk karena walaupun ruangan terlihat penuh, namun orang-orang tetap mengalir keluar.

Sesampainya di dalam, ada tempat pas untuk satu orang, di belakang sekali. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat berjamaah, sedangkan anakku duduk di depanku sambil memegang mainan mobil-mobilannya dan sebongkah roti lembut yang dinamakan poğaça.

Sewaktu menjalankan sholat repot juga, karena anakku terus menerus berpindah posisi, terkadang memeluk kakiku, terkadang berguling-guling pas di ruang sujudku atau di ruang sujud jamaah di sampingku, yang akhirnya anakku dipangku jamaah itu,untuk "disisihkan" ke arah aku duduk.

Sabtu, 09 Juni 2012

Keanekaragaman budaya dan agama dari komunitas tepi air di Ortaköy

Menyusuri Bosphorus adalah kegiatan yang tak pernah membosankan. Kalau sedang ada waktu, warga Istanbul tak segan-segan pergi ke Bosphorus, lagi dan lagi. Sebagian besar warga Istanbul mungkin hanya sampai di Eminonu, sebuah tempat bercampurnya air Bosphorus dengan semenanjung Golden Horn. Disitu mereka bisa memancing diatas jembatan Galata, menikmati sandwich ikan, sepiring ikan hamsi goreng yang gurih-manis, ditutup lokma yang manis legit. Berbelanjapun takkan ada habisnya di Eminonü, yaitu tepatnya di daerah Sultanhamam, tak jauh dari Mesjid Yeni Camii yang berdiri megah, sebuah souvenier dari Ibunda Sultan, Hatice Turhan Sultan. Apa? ada yang saya lupa? hmm tentu saja The Spice Bazaar, atau Mışır Carşışı menurut lidah lokal. Surganya bumbu dan lokum. Ah, belum lagi saya sebutkan mesjid menantu Sultan Süleyman, yaitu Rüştem Paşa Camii yang juga menarik untuk dikunjungi.

Baiklah kita tinggalkan Eminonü untuk ditulis lain kali saja, karena sekarang saya mau menulis tentang Ortaköy, sebuah tempat di pinggir Bosphorus sisi Eropa, tepat di bawah jembatan Bosphorus.wilayah ini merupakan bagian dari distrik Besiktaş, yaitu satu dari 33 distrik yang berada di kota Istanbul.

Perjalan kita mulai dari Sultanahmet, pusat kota tua. Marilah kita naik Tram T1, ke arah Kabataş. Anda punya İstanbulkart? kartu perjalanan untuk seluruh moda angkutan İstanbul itu? siplah kalau ada. Pastikan saldonya cukup ya, karena kita akan menyambung kendaraan di Kabataş. Jangan khawatirkan mau turun di stasiun mana, karena kita akan menuju ke stasiun akhir jalur T1, yaitu Kabataş.

Sesampainya di Kabataş, kita akan naik bis yang melalui Ortaköy. Ada lebih dari satu pilihan. Pilih saja yang menuju Sarıyer, karena sudah pasti melewati Ortakoy. Sesampainya di halte bus Ortaköy, silakan turun untuk segera menikmati pemandangan yang anda. Atau mau mengisi perut dulukah? ada banyak sajian makanan sesuai selera anda. Namun yang spesial adalah kumpir, yaitu kentang raksasa panggang yang dagingnya dikerok dan dicampur dengan mentega. Lalu diberi taburan keju- zaitun dan apa saja yang anda mau. Itu cemilan asinnya. Kalau suka manis, pilih saja waffle, yang manis-gurih-mengenyangkan. Isıannya adalah buah-buahan seperti pisang, kiwi dan strawberry. Ditambah olesan saus cokelat dan taburan bubuk kacang sangrai, meses, dan lain-lain. Ada 1001 jenis taburan (sedikit hiperbolis).

Cemilan sudah digenggam, dan anda sudah berkurang hartanya sebanyak 12 TL. Namun anda memiliki kekayaan lain berupa makanan, air mineral dan tissue basah. Anda sudah siap mencari sunny spot di Ortaköy sambil menikmati cemilan lezat. Ah, indahnya dunia. Kalau ada dana lebih, bisa juga nongkrong di cafe yang bertebaran di sekitar situ. Tapi niat kita kan mau menghayati kehidupan Ortaköy. Lupakan cafe, dan kenyangkan dulu perut denga kumpir dan waffle anda.

Jika sudah kenyang, langit pasti lebih cerah dan laut lebih biru, saatnya explorasi dan hunting foto!
=======================================================
Scene pertama adalah mesjid Ortaköy, masjid ini sayangnya sedang direnovasi, jadi saat ini tidak bisa dilihat keindahannya. Namun gambarnya masih bisa anda lhat jika anda googlink. Masjid ini dibuat oleh arsitek Armenia, yaitu ayah dan anak, Garabet Balyan dan Nigoğayos Balyan, atas perintah Sultan Abdülmecid, pada tahun 1854-1856. Masjid bergaya Neo Barok ini, senada dengan Istana Dolmabahçe dan Mesjid Valide Sultan yang juga dibuat oleh para arsitek yang sama, yaitu Keluarga Balyan. Di dalam mesjid terdapat sejumlah kaligrafi buatan Sultan Abdülmecid sendiri, yang mana beliau adalah seorang master calligrapher (hattat).

Oh ya, saya mau bercerita, kalau wilayah Ortaköy ini merupakan cerminan pluralisme agama dan budaya. selain adanya mesjid Ortakoy Mecidiye camii ini, begitulah nama lengkapnya, disini juga terdapat Gereja dan Sinagoga. Gerejanya bernama Ayios Fokas Rum Ortodoks Kilisesi. Letaknya dipinggir jalan raya Ortaköy. Sedangkan Mesjidnya menjorok ke Bosphorus, di kaki jembatan Bosphorus yang menyambungkan benua Eropa dengan Asia. Di ujung jembatan bagian Asia-nya terdapat Istana Beylerbeyi. Adapun Sinagonya bernama Etz Ahayim Sinagogu. Letaknya hanya beberapa puluh langkah dari gereja Ayios Fokas.

Begitulah gambaran adem-ayemnya pluralisme beragama di wilayah Ortaköy pada masa Ustmaniyyah. Tidak ada masalah walau hidup berdampingan namun beda agama. Masing-masing beribadah di tempatnya sendiri-sendiri, namun bercampur-baur dalam muamalah sehari-hari.

Mumpung masih di Ortaköy, anda juga melihat Esma Sultan Yalısı, yaitu istana Esma Sultan, yang dibuat oleh Ayahnya, Sultan abdülaziz untuk hadiah pernikahan sang putri. Istana ini dirancang oleh arsitek Sarkıs Balyan yang diselesaikan pada tahun 1875. Istana ini pernah terbakar ketika dijadikan sebagai gudang tembakau, dan menyisakan hanya dinding luarnya saja. Bangunan ini kemudian dibeli oleh jaringan The Marmara Hotel. Kemudian bagian dalamnya direnovasi dengan material kaca dan baja, sedangkan dinding luarnya dibiarkan asli. "Esma Sultana Mansion", demikian kini ia bernama. digunakan sebagai tempat multifungsi. Yakni sebagai tempat mengadakan meeting, pesta, konser, dan lain sebagainya.

Telusuri juga jalan-jalan sempit diantara bangunan-banguna di Ortaköy. banyak dari banguna-bangunan tersebut yang kini menjadi toko-toko perhiasan yang terbuat dari batu-batu alam nan artistik. "Sokakta Hayat var", demikian slogan yang selalu tergantung di gang-gang Ortaköy. Artinya kurang lebih: "di jalan terdapat kehidupan"

The Balyan Brothers

Istana-istana Ustmaniyyah

The Power of Woman of Ustmaniyyah

The Chronicle of Harem

Battal Gazi, sang pengendara kuda

Silsilah ustmaniyyah

Khalifah pertama Ustmaniyyah, Yavuz Sultan Selim

Sinan The Great Architect

Fatih Sultan Mehmet, pengukir sejarah dunia

Aksamsetin

Abu Eyüp El-Enshery

Princess Zoe of Constantinople

Belanja ke pasar a la Istanbul-er

Love-hate antara mertua vs mantu

Pernikahan Campuran kaum muda Türk. Sebuah pemberontakan ?

Sandık, bohça dan çeyiz

Masyarakat Turki pada umumnya, masih sangat kental dengan budaya. Kehidupan sehari-hari mereka di kota besar seperti Istanbul, mungkin tidak ada bedanya dengan masyarakat metropolitan manapun di dunia. Tapi ketika kembali ke lingkungan keluarga, tradisi masih dipegang erat. Saya hanya akan menyorot bagian Istanbul saja, dan tidak membicarakan kota-kota lainnya di turki, yang umumnya belum pernah saya kunjungi, dan walaupun pernah, tidak mengetahui secara mendalam tentang tradisinya yang khusus.

Ketika bertemu dengan orang yang lebih tua, seperti orang tua sendiri, kakek-nenek, tante-paman, tak lupa untuk mencium tangan. Mencium tangannya adalah dengan cara mencium tangan orang yang dihormati tersebut kemudian meletakkannya di kening kita. Namun istri paman, atau kerabat wanita yang terikat pernikahan dengan anggota keluarga, yakni bukan karena hubungan darah, tidak dicium tangannya jika kita adalah laki-laki, demikian sebaliknya.

Selain tradisi cium tangan, tradisi lainnya adalah masih adanya tradisi menyiapkan segala sesuatunya hingga lengkap sempurna untuk calon pengantin wanita. Persiapan ini dilakukan oleh ibu mempelai wanita, jauh-jauh hari, bahkan sedari si anak masih kecil. Dan wanita tersebut hanya memiliki anak laki-laki, tetap saja dia harus menyiapkan sandık, untuk persiapan membuat bohça untuk menantu perempuannya kelak.

Persiapannya berupa merajutkan anaknya kaos kaki-kaos kaki, washlap mandi, merajut pinggiran jilbab berbunga-bunga nan indah, merajut setelan tempat tidur, taplak-taplak, sweater, pinggiran handuk, dan lain-lain. Barang-barang tersebut akan disimpan di dalam kotak yang dinamakan sandık. Isı dari sandık yang berupa beragam barang sandang dan hiasan rumah tersebut dinamakan çeyiz. Adapun bohça adalah taplak meja, atau kain yang digunakan untuk membungkus çeyiz.

Bohça ini adalah bingkisan yang biasanya dikirimkan dari pihak keluarga calon mempelai perempuan ke pihak laki-laki dan juga sebaliknya. Ada berbagai jenis bohça, tergantung situasi dan keadaan. Misalnya ada bohça dari pihak laki-laki ke pihak perempuan pada acara söz, yaitu acara mengikat janji, ini belum tunangan. Mungkin bolehlah disebut lamaran. kemudian sebelum acara pertunangan, kedua belah pihak juga saling mengirim bohça. Bohça-bohça ini biasanya dipersiapkan oleh ibu-ibu dari calon pasangan muda-mudi ini.

Bohça untuk pihak laki-laki dipersiapkan oleh pihak perempuan. Isınya berupa beragam barang kebutuhan dan toiletries laki-laki. tentunya ragam jenis dan kualitas barang-barangnya tergantung kondisi ekononi dari keluarga calon mempelai. Adapun sebagai gambarannya, bohça untuk calon mempelai laki-laki biasanya berupa satu set alat cukur, alat-alat mandi, jubah mandi, sandal rumah, sepatu, kaos kaki, sajadah, peci, kancing manset, jam tangan, ikat pinggang, dasi, dan pakain.

Bohça untuk perempuan biasanya berupa make,up, toiletries, parfum, jam tangan, sandal rumah, jubah mandi, pakaian dalam, pakaian untuk hari-hari istimewa, pakaian sehari-hari, baju tidur, sepatu sehari-hari dan sepatu pesta, tas, dan lain-lain.

Selain bohça-bohça untuk gelin, yaitu sebutan untuk menantu perempuan, dan damat, sebutan untuk menantu laki,laki, masih ada lagi bohça-bohça kecil yang ditujukan kepada ibu mertua masing-masing, saudara-saudara kandung dari calon damat dan gelin, kakek-nenek mereka, om-tantenya, dan sebagainya.

Kini toko-toko pakaian dan toko-toko pakaian dalam memberikan pelayanan mempersiapkan bohça. Asal ada uang, bohça siap. Dan ada kecenderungan dalam masyarakat Turki untuk berpamer, ingin terlihat bagus dan serba ada, walaupun bohça-bohça tersebut dipersiapkan dengan dana kredit, bukan cash.

Budaya handycrafting yang semakin memudar diantara wanita muda Turki

Wanita Turki yang saya kenal di lingkungan keluarga suami saya di Alanya, Antalya, adalah para wanita yang begitu tegar. Mereka kuat bekerja di ladang dan di rumah, 7 hari seminggu. Pekerjaan di ladang umumnya adalah mengurus rumah kaca yang ditanami kacang, tomat, terong ataupun cabe. Sedangkan rutinitas di rumah adalah mengurus hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, keledai, dan ayam. Masih pula harus bersih-bersih rumah, memasak, menerima tamu diantara waktu senggang.

Aktifitas mereka dimulai dari saat adzan subuh berkumandang. Setelah menjalankan shalat subuh, mereka segera memerah sapi, lantas menyiapkan sarapan. Para prianya agak sulit bangun, dan mereka masih harus dibangunkan agar tidak kesiangan shalat subuh. Sarapan berupa kentang goreng, keju putih, zaitun, tahin-pekmez, irisan tomat dan timun serta roti buatan rumah. Teh disajikan dan dituangkan disela-sela makan pagi. Semua makanan tersebut diletakkan di nampan bulat lebar dan semua anggota keluarga duduk mengelilinya. Sang Bunda akan menuangkan teh ke cangkir-cangkir anak dan menantu. Ibaratnya dia itu operator teh :)

Setelah lepas sarapan, dilanjutkan dengan mencuci piring dan berganti baju untuk ke kebun. Hewan ternak dipersiapkan untuk dibawa merumput disekitar kebun dan ladang. Tak lupa membawa air minum dan perkakas. berangkatnya bisa dengan menaiki keledai ataupun berjalan kaki. Ada pula yang mengendarai traktor sekeluarga, atau suami-istri mengendarai motor serupa RX king kalau di Indonesia.

Dan begitulah mereka berkerja hingga waktu dhuhur didalam panasnya rumah kaca. Cuaca Mediterrania sendiri sudah panas, ditambah panasnya rumah kaca. Begitu waktu dhuhur tiba, pekerjaan dihentikan dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Tak lupa hewan ternak pun dibawa serta. Setibanya di rumah mereka memberi makan sapi, lalu mandi dan shalat dhuhur, dilanjutkan memasak makan siang. Setelah makan siang kaum Bapak biasanya melakukan urusan lain di luar rumah ataupun istirahat sambil menonton TV. Kaum ibu kemudian meneruskan kegiatan membordir, menjahit ataupun menyulam dan merajut.

Di keluarga suami, kebetulan ibu mertua tidak hobby kerajinan tangan. beliau biasanya malah membuat makanan, misalnya membuat saus tomat (salça), mengupas kacang, memetik daun anggur untuk diawetkan, dan sebagainya. Namun d keluarga lain hampir dipastikan kaum ibu dan remaja putri di waktu luangnya tak bisa lepas dari benang dan jarum rajut. Merajut lagi dan lagi tanpa jemu. Hasil rajutannya bisa berupa satu set taplak untuk di ruang tamu, yaitu taplak meja dan taplak-taplak kecil untuk alas lemari kaca, rajutan spon mandi, rajutan kaos kaki dan sepatu rumah, sweater, baby stuffs, penutup tempat tidur, hiasan dan taplak-taplak dapur, penutup kulkas, dan lain-lain. Barang-barang rajutan tersebut biasanya setelah selesai akan disimpan di sebuah kotak yang dinamakan sandık. Kelak jika anak gadisnya menikah, maka sandık beserta isinya akan dipindahkan ke rumah baru sang gadis.

Kini sudah banyak para gadis yang melanjutkan kuliah ke luar kota, kemudian memiliki profesi tertentu sesuai minat dan bakatnya. Dan oleh karenanya kebiasaan Handcrafting juga menurun. Banyak yang sudah tidak menginginkan sandık ibunya, karena menganggap sudah tidak lagi mode, dan barang-barang rajutannya sudah ketinggalan zaman.

Salah satu rajutan panco buatanku
Namun bagi saya yang datang dari Indonesia, saya sangat menggumi budaya handcrafting ini. Menilik kebiasaan para wanita dan para gadis di tanah air, banyak yang duduk-duduk kosong tanpa bekerja. Hanya mengobrol sambil duduk-duduk di teras rumah berjam-jam tanpa melakukan sesuatu yang berarti, paling-paling makan rujak bersama. Kebiasaan handcrafting ini bagi saya merupakan suatu hal yang produktif. Tangan bekerja dan mulut masih bisa sambil mengobrol, matapun masih bisa sesekali mencuri pandang ke layar TV.

Gadis-gadis Turki pun sekarang lebih suka keluyuran dengan wajah penuh make-up dan kuku tangan bercat. Rambut panjang diurai, dan jemari mengepit rokok.

Cingene, dalam dinamika masyarakat Turki

Turki dan kebersihan, sebuah studi tentang etika dan kultur masyarakat Istanbul

Lingkungan bersih, apa faktor yang melatarbelakanginya? apakah dari perilaku warga, atau dari upaya pemerintah? ayo kita cermati lebih jauh. kita ambil contoh Jakarta-Indonesia, singapura dan Istanbul-Turki.

Orang bilang Singapura bersih, memang kelihatannya betul demikian. Warganya memiliki kebiasaan baik untuk selalu membuang sampah pada tempatnya. bahkan jika sudah selesai menikmati makanan di area foodcourt, mereka tak lupa membuang sisa-sisa makanan dan tulang-tulang ayam ke tempat sampah dan meletakkan bakinya di tempatnya. Orang Indonesia yang terkenal tak patuh aturan pun jika sedang berada di Singapura mendadak jadi tertib dan mengikuti perilaku tuan rumah, walau nanti sesampainya di bandara Soekarno-Hatta, mendadak perilaku lama muncul kembali.

Bagaimana dengan di Jakarta? sampah berserakan di mana-mana, di terbangkan angin dan dihuni sisa-sisa air hujan, menjadi sarang nyamuk demam berdarah yang merenggut nyawa banyak orang. Sampah menumpuk di sungai mendangkalkan aliran air, sehingga manakala hujan turun, airnya meluap menjadi banjir malapetaka, yang lagi-lagi merenggut banyak jiwa.

Sungai Ciliwung yang melintasi kota tua, diantara bangunan-bangunan yang menyimpan sejarah masa lalu, mengalir hitam dan bau. Andai saja Ciliwung bisa bersih seperti Golden Horn di Istanbul. Dulunya konon Golden Horn-pun pernah kotor, tatkala di sepanjang sisinya sejumlah pabrik tekstil beroperasi. Kini area sepanjang Golden Horn adalah tempat piknik dan taman umum.

Turki, khususnya Istanbul, saat ini telah menjelma menjadi kota yang bersih dan apik. Nyaman untuk para turis yang tak henti memadatinya, 12 bulan dalam setahun. Namun apakah kebersihan Istanbul adalah cerminan kebiasaan bagus warganya, bisa ya bisa tidak.

Boleh dikatakan bahwa warga Turki cinta kebersihan untuk rumah sendiri. Rata-rata rumah warga Turki bersih, sepatu dilarang masuk, karena semua ruangan di lapisi karpet. Semua ruangan dan furniture selalu bersih karena rajin di lap dan divacuum, bahkan furniture dan karpet minimal setahun sekali dicuci ke perusahaan pencucian karpet dan sofa. kamar mandi dan toilet juga selalu terjamin kebersihannya. Bahkan kaca-kaca jendela selalu dilap, tak jarang melihat pemandangan seorang ibu rumah tangga sedang melap kaca dari lantai flat-nya yang tinggi, tanpa memikirkan bahaya jatuh.

Namun mereka yang memiliki perilaku bersih di lingkungan sendiri ini, tak jarang meninggalkan berbagai sampah di area piknik. Rumput yang hijau di penuhi kulit biji bunga matahari (merupakan hobby warga Turki untuk memakan biji bunga matahari yang telah digarami, di Indonesia dinamakan kwaci). Botol-botol plastik air minum, puntung-puntung rokok, mengotori taman.

Pemerintah memili armada kebersihan yang sangat tangguh. Diawali di pagi hari, sekitar jam delapan pagi, mobil sampah akan datang untuk mengambil kantong-kantomg plastik berisi sampah yang diletakkan oleh para penghuni  apartemen di pinggir jalan. Di ujung-ujung jalan besar terdapat kotak-kotak sampah dari baja yang bisa diangkat dan digulingkan dengan sistem hidrolik yang terdapat pada mobil sampah. Menjelang siang, petugas kebersihan dengan seragam oranye akan sibuk menyapu sisa-sisa sampah yang terjatuh atau tidak terangkut oleh mobil sampah. Di luar itu, masih ada petugas-petugas kebersihan yang berjalan dengan mendorong semacam vacuum cleaner besar, untuk menyedot sampah-sampah kecil. Ada lagi petugas kebersihan yang mengendarai semacam mobil "pengepel" jalanan. Dengan armada selengkap itu, tentu saja kebersihan selalu terjamin. Namun entah berapa dana yang harus keluar setap bulannya untuk menjaga kebersihan ini.

Kamis, 24 Mei 2012

Napak tilas jejak maya sang detektif, Hercule Poirot, di Sirkeci Train Station, Istanbul

Resepsi pernikahan a la Turki: Bukan bergelimang makanan, namun koin emas dan uang kertas

Resepsi pernikahan anak tetangga kami, dilaksanakan pada hari minggu, dimulai dari pukul satu siang dan berakhir pukul lima sore. Ada sohbet (ceramah agama) pada pukul satu hingga pukul dua tiga puluh siang. Demikian tertulis pada kartu undangan pernikahan yang kami terima. Pesta pernikahan ini adalah pesta pernikahan dari mempelai wanita yang malam bainai-nya aku hadiri malam sebelumnya.


Sesampainya kami di wedding hall, hadirin sudah duduk mengelilingi sejumlah meja untuk mendengarkan sohbet. Pasangan pengantin duduk di kursi merapat ke dinding, menghadap ke hadirin.  Sedangkan hoca (ustadz)  yang sedang memberikan sohbet juga duduk tak jauh dari pasangan pengantin.


Mempelai wanita  mengenakan gaun putih a la Eropa namun dengan tutup kepala dari bahan yang sama dengan gaunnya. Adapun mempelai laki-laki mengenakan setelan jas. Sejumlah anak-anak perempuan kecil bergaun putih bermain-main di lantai yang luas antara deretan pengantin dan Hoca serta para hadirin. Sejumlah anak kecil laki-laki terlihat asyik bermain dengan mainan gasing baru, yang rupanya dibeli dari sebuah minibar di dalam ruangan. Minibar yang dikelola oleh manajemen Wedding Hall  itu juga menjual makanan kecil dan minuman ringan. 


Aku segera mencari keluarga sang pengantin laki-laki yang rupanya sedang berdiri di sekitar hadirin. Setelah memberikan ucapan selamat, aku pun segera mencari bangku kosong di antara para undangan wanita. Suamiku dan anakku bergabung dengan tamu undangan laki-laki di lantai atas.


Setelah Sohbet berakhir, hadirin dan kedua mempelai serta sahibul hajat berdoa bersama dipimpin oleh hoca. Kemudian kedua pengantin bangkit dari tempat duduknya untuk berdiri di tengah ruangan. Kue pengantin dibawa masuk ke tengah ruangan untuk  dipotong oleh pasangan pengantin tersebut, tentunya tak lepas dari jepretan-jepretan kamera dari kameramen wedding hall dan dari kamera-kamera saku keluarga dan para tamu.


Setelah kue dibawa keluar lagi, dua utas pita satin putih lebar dikalungkan ke masing-masing leher kedua mempelai. Panjangnya mencapai pinggang. Pita-pita tersebut akan digunakan untuk tempat menyematkan uang dan koin emas dari para undangan. Salah seorang keluarga berdiri disamping pasangan pengantin baru ini membawa bantalan jarum besar berisi ratusan jarum pentul kecil berwarna perak.


Suami dan anakku datang mencariku, lalu kami bersama-sama masuk ke antrian para undangan untuk memberikan ucapan selamat dan menyematkan tanda kasih kami kepada pasangan pengantin baru ini. Menjelang akhir acara, pita-pita satin pasangan pengantin ini sudah akan dipenuhi sematan koin emas berpita merah dan uang kertas Turkish Lira (TL). 


Uang yang diterima pengantin biasanya bernominal 20 TL, 50 TL dan 100 TL. Saat ini harga koin emas di Turki adalah 150 TL. Biasanya orang yang menyematkan koin emas adalah keluarga dekat dan sahabat dekat, atau orang yang dulunya juga pernah mendapatkan koin emas dari salah satu orang tua dari kedua mempelai.


Sementara itu piring-piring berisi biskuit dan cake diedarkan ke meja para hadirin beserta softdrink. Hanya itu saja sajian yang diberikan. Sangat berbeda dengan tradisi di Indonesia yang selalu memberikan jamuan makan istimewa kepada para tamu undangan pernikahan. 


Di Indonesia, banyak yang sengaja tidak makan dulu jika akan menghadiri undangan pernikahan. Karena makanan yang tersedia biasanya melimpah, tak hanya makanan utama, namun juga kue-kue, es krim, buah-buahan dan bahkan gubuk-gubuk yang menyajikan jajanan semacam bakso, siomay, pempek dan lain lain. Namun jika anda sengaja mengosongkan perut sebelum menghadiri resepsi pernikahan di Turki, khususnya Istanbul, tentunya kelaparan yang akan didapat. Seperti peribahasa, lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain belalang.


Tidak, saya tidak mengatakan bahwa orang Turki pelit. Jika anda menjadi tamu di rumah mereka, anda akan diperlakukan bagaikan raja. Dari mulai jaket anda yang akan diambil dan digantungkan di gantungan jaket, diambilkan sandal rumah, hingga dihidangkan makanan yang tak putus-putus di depan anda. Dari mulai sup krim lentil yang lembut nan gurih itu, lalu makanan utama berupa masakan daging atau ikan dengan nasi lemak, masih ditambah dengan roti, salad dan berbagai makanan sampingan lainnya. Lepas itu menyusul teh turki yang disebut çay dan kue-kue ataupun cake, plus berbagai jenis kacang-kacangan, menyertai obrolan dengan tuan rumah. Hidangan akan disudahi dengan sajian beraneka-rupa buah. 


Namun di pesta pernikahan, anda hanya akan mendapati cake dan softdrink. Banyak dari tamu undangan yang bahkan tidak menyempatkan diri untuk mencicipi hidangan tersebut, melainkan langsung pulang setelah menyematkan uang atau koin emas. Begitu juga dengan kami, setelah suamiku menyematkan selembar uang kertas 100 TL ke pita satin pengantin laki-laki, dan aku memberikan ucapan selamat dan pelukan kepada pengantin perempuan yang tangannya dipenuhi gelang emas itu, kami pun segera undur diri. Rumah kami hanya satu blok saja dari gedung tempat wedding hall ini berada.

Rabu, 23 Mei 2012

Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (5-habis)


Para gadis pengiring yang berjalan perlahan mengelilingi sang gadis calon pengantin tersebut, kemudian berhenti. Wanita pembawa baki berisi henna yang dihiasi lilin-lilin kecil tersebut lalu memutarkan baki tersebut di seputar badan di gadis. Lalu salah satu kerabat wanita dari pihak calon pengantin laki-laki, bisa kakak perempuannya ataupun kakak iparnya, akan mengambil segumpal henna dari baki dan memoleskannya ke telapak tangan sang gadis, kanan dan kiri. Lalu sebuah koin emas akan diletakkan di telapak tangan kirinya. Telapak-telapak tangan berhenna ini akan dikepalkan, dan salah satu kerabat wanita dari pihak calon pengantin laki-laki akan menyarungi kedua kepalan tangan tersebut dengan sarung tangan serupa sarung tangan bayi berwarna merah terbuat dari brokat. Maka selesailah prosesi pemborehan henna ini. Lampu-lampu di ruangan kembali dinyalakan. Kerudung merah yang menutupi muka sang gadis disibakkan kebelakang. Make-up sang gadis yang rusak karena air mata diperbaiki, dan acara pengambilan foto dimulai.
Kembali  ceria

Musik kembali diputar. Sang gadis pun berganti pakaian untuk yang terakhir kalinya. Keceriaan dan tawa kembali menggantikan tangisan yang mengharu-biru tadi. Dansa masih berlangsung hingga satu jam kedepan, saat waktu menunjukkan pukul sebelas malam.

Sementara itu, para tamu memberi ucapan selamat, pelukan dan ciuman di pipi kepada keluarga sahibul hajat dari kedua belah pihak. Sang calon pengantinpun berkali-kali mendapatkan interupsi ditengah tariannya untuk mendapatkan ucapan selamat dan berfoto bersama.

Berfoto bersama
Sekitar pukul 10.30 malam, dua kakak lelaki sang gadis dan calon suaminya masuk ke wedding hall dan turut menari bersama. Tepat pukul sebelas malam musik dihentikan karena masa penyewaan ruangan sudah habis.

Demikianlah acara Kına Gecesi ini berakhir, sedangkan esok adalah hari besar bagi pasangan ini, yaitu pesta pernikahan mereka. Kami para kerabat dan tetangga dari pihak calon pengantin laki-laki menuju mobil penjemputan kami untuk kembali ke kampung kami di Merkez Mahallesi (kampung tengah), Gaziosmanpaşa.

Sesampainya di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Suamiku menyambutku dengan sejumlah pertanyaan tentang kesan-kesanku menghadiri acara Kına Gecesi untuk pertama kalinya dalam hidupku.
***

Senin, 21 Mei 2012

Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (4)

Lama-lama semangatku berpesta habis juga, rasa bosan melanda. Hampir tiga jam sudah, dari sejak kedatangan kami pukul tujuh petang tadi, musik dan dansa masih saja berlangsung. Tak ada makanan ataupun minuman sebagai perintang waktu. Perut mulai lapar dan telinga mulai kurang bisa mentoleransi bunyi-bunyian keras ini. Kepalaku juga mulai pusing, ini adalah penyakitku yang biasa kala melihat orang dalam jumlah banyak.

Tak lama setelah aku mulai berfikir-fikir untuk melarikan diri dari acara ini, walaupun tentu saja tidak mungkin (aku tidak membawa kendaraan ataupun uang untuk taksi. Dan tempat ini, Piyalepaşa, adalah sebuah tempat di seberang Golden Horn, cukup jauh dari rumahku di Gaziosmanpaşa), Periha, kakak perempuan dari calon mempelai laki-laki mulai membagikan kantong kecil dari kain dihiasi renda, berisi kacang-kacangan. Lumayan, daripada tidak ada makanan sama sekali.

Sekitar 20 menit menjelang pukul sepuluh malam, musik dihentikan. Calon pengantin wanita masuk ke ruang ganti pakaian dan beberapa saat kemudian keluar lagi dengan memakai setelan celana dan tunik dari kain brokat merah serta kerudung brokat merah berpayet yang ditutupkan menutupi kepala dan wajahnya. Ia diiringi sejumlah gadis lain yang di telapak tangannya memegang piring kecil dengan sebatang lilin pendek yang menyala. Kepala gadis-gadis tersebut dihiasi bando yang ditempeli bunga-bunga imitasi dan berekor kain organdy merah yang menjuntai di belakang kepala, seperti kerudung pengantin. Iring-iringan itu dikepalai oleh seorang wanita yang membawa baki bulat di kedua tangannya. Baki tersebut berisi henna yang telah diaduk dengan air menjadi adonan yang bisa dipulung. Adonan ini diratakan ditengah baki bulat tersebut dikelilingi sejumlah lilin kecil yang menyala.

Sang calon mempelai wanita kemudian didudukkan di sebuah kursi di tengah lantai dansa. Rombongan yang mengiringinya membentuk lingkaran disekitarnya. Lampu di ruangan kemudian dimatikan semua, sehingga cahaya yang ada hanya berasal dari sejumlah lilin kecil di tangan para gadis pengiring dan di baki bulat berisi henna. Seorang wanita maju ke tengah lingkaran dan mulai menyanyikan lagu khusus untuk acara kına gecesi.

Lagu yang dinamakan Kına Gecesi Türküsü ini berlirik sedih, tentang gadis yang akan pergi meninggalkan keluarga dan kampung halamannya, untuk tinggal bersama suaminya. Sang pemegang baki dan para gadis pengiring berjalan perlahan mengelilingi sang calon pengantin sementara kına gecesi türküsü dinyanyikan. Momen ini sangat menyentuh hati, bahkan bagi yang tidak mengerti arti syair yang di nyanyikannya. Nada-nadanya yang haru sudah cukup membuat orang asing seperti sayapun merasa ikut larut dalam kesedihan sang gadis yang sedang menjalani malam terakhir bersama keluarganya. Sang gadis calon pengantin mulai menangis, demikian juga sejumlah keluarga dekat perempuannya.

Berikut salah satu contoh dari sekian banyak kına gecesi türküsü:

Menangis
Kınami yogurduler hamur ettiler anam
Gözlerimun yaşini yağmur ettiler anam
Gözlerimun yaşini yağmur ettiler anam

Ağlama canum anam ben gelin oldum gelin
Şu üç günün içinde ben elin oldum elin
Şu üç günün içinde ben elin oldum elin

Ben senden ayrilmazdıum eller ayirdi anam
Senin bu yokluğuna nasil dayansam anam
Senin bu yoklğuna nasil dayansam anam

Artinya dalam Bahasa Indonesia:
Henna-ku sudah mereka jadikan adonan, Ibu
Air mataku mereka kucurkan serupa hujan, Ibu
Air mataku mereka kucurkan serupa hujan, Ibu

Jangan menangis Ibuku sayang, aku telah menjadi seorang menantu, seorang menantu
Dalam tiga hari ini aku telah berada dalam pelukanmu, dalam pelukanmu
Dalam tiga hari ini aku telah berada dalam pelukanmu, dalam pelukanmu

Aku tak bisa berpisah darimu Ibu, tanganku tak bisa berpisah, Ibu
Bagaimana aku akan sanggup berpisah denganmu Ibu
Bagaimana aku akan sanggup berpisah denganmu Ibu


Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (3)

Calom pengantin memegang sapu tangan merah


Sang calon mempelai perempuan terus berganti-ganti kostum setiap sekitar 45 menit. Setiap selesai berganti kostum ia akan segera masuk ke lantai dansa dan menari, yang kemudian segera disambut penari lainnya. Kostum sang gadis terdiri dari sejumlah gaun a la puteri kerajaan, dengan warna broken white, emas, kuning. Lalu pakaian tradisional Turki, yang terdiri dari setelan celana menggembung dan vest, berwarna putih dengan hiasan bunga-bungaan dari manik-manik dan kain organdy.

Hadirin memakai pakaian-pakaian terbaiknya. Sebagian besar hadirin memakai jilbab, yang terkadang menjadi kombinasi lucu dengan rok setengah betis yang dikenakannya, walaupun sepasang kakinya terbalut stocking. Sejumlah keluarga dekat dari  kedua calon mempelai memakai pakaian pesta yang kelihatannya khusus dibeli atau dijahitkan untuk acara ini. Hiasan payet berkilauan diatas gaun dengan bahan velvet ataupun satin, cukup menyilaukan mata. Gaun-gaun istimewa ini dikenakan dengan dilengkapi sepasang sepatu hak stiletto yang dihiasi aksesories manik-manik yang tak kalah berkilau dengan bajunya. Kerudung-kerudung yang dikenakan bermerk Armine, Vakko, Pierre Cardin dan Aker, produsen garmen yang terkenal di Turki. Pakaian gemerlapan ini hanya ditampilkan di dalam ruangan saja, diantara para wanita, karena ketika keluar ruangan nanti mereka akan kembali mengenakan raincoat panjang yang dinamakan pardesu.

Aku sendiri cukup nyaman dengan gaun hitam dengan hiasan payet di dada serta kerudung hitam berbentuk syal yang kupakai melingkar a la Arab. Kerudung ini istimewa sekali buatku karena merupakan kenang-kenangan perpisahan dari sahabat-sahabatku di tempat kerjaku dulu. Sepatu yang kukenakan merk Apple Green, ber-hak sedang. Tas pestaku berwarna perak, merk ananas, merupakan hadiah dari sahabat-sahabatku juga.


Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (2)

Calon pengantin dalam gaun ungu
Malam ini adalah malam bainai, yang dinamakan Kına Gecesi dalam bahasa Turki (kına=henna/inai; gece=malam). Merupakan malam yang sangat penting dalam hidup seorang gadis. Boleh dibilang malam terakhir ia sebagai seorang gadis, karena esok harinya adalah hari pernikahannya.

Sang calon mempelai wanita terus menari untuk setiap lagu, suka atau tidak suka, karena ini merupakan pestanya. Salah satu hadirin akan menyambut sebelah tangannya dan mengaitkan kelingking dengan kelingking. Lalu yang lainnya akan datang dan menyambung jalinan kelingking tersebut sehingga membentuk sebaris penari yang cukup panjang. Diatara dua penari dengan kelingking yang bertautan, terjuntai saputangan dari manik-manik berkilau. saputangan-saputangan tersebut berwarna emas, perak, merah dan ungu. Salah satu sudut saputangan memiliki ujung berbentuk cincin untuk diselipkan di jari. Sapu tangan ini diputar-putarkan seiring gerakan tari yang dinamis dan meriah.

Terus terang saja, walaupun musik yang terdengar tidak jelas karena buruknya kualitas sound system, namun kemeriahannya membuatku ingin turut menari. Karena ibunda calon mempelai pria alias tetanggaku tersebut juga mengajakku, akhirnya akupun turut menari bersama mereka. Sebentar saja, karena musik segera berganti. Kelompok penari yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang menari lebih dinamis, segera memasuki arena. Sedangkan aku, tak mengenal siapapun kecuali sekelompok wanita lanjut usia ini, memilih kembali ke tempat dudukku semula. Mungkin di kesempatan lain jika aku datang dengan kenalan-kenalan yang seusiaku, aku bisa turut menari lebih lama.


Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (1)

Tulisan ini telah diudarakan oleh Voice of Radio Republik Indonesia, acara Bilik Sastra pada tanggal 5 Agustus 2012.
-----------------------------------------------------------------------------
Sabtu malam yang cerah di Istanbul. Waktu menunjukkan pukul 06.30 sore. Di luar masih terang karena musim semi sedang beranjak ke musim panas. Aku bergegas keluar bangunan apartemen yang kami tinggali menuju bangunan apartemen tetanggaku yang hanya berjarak beberapa blok saja. Di depan bangunan apartemen-nya sudah terparkir sebuah mobil van putih. Kendaraan tersebut akan digunakan untuk mengangkut kami, para tetangga dan kerabat, untuk menuju ke acara Kına Gecesi, atau malam bainai, jika dalam tradisi Indonesia.

Tarian Halaya
Kami adalah rombongan dari pihak laki-laki. Kına Gecesi umumnya diselenggarakan oleh pihak perempuan dan dihadiri oleh kaum perempuan dari kedua belah pihak. Bertolak dengan mobil van sewaan ini dan sejumlah sedan pribadi, kami menuju ke sebuah Wedding Hall, yang dinamakan Duğun Sara dalam bahasa Turki (duğun=pernikahan, saray=istana). Wedding hall ini terletak tak jauh dari kediaman calon mempelai wanita, sekitar 45 menit-1 jam perjalanan dari daerah tempat kami tinggal. Setibanya di sana, kami langsung menuruni tangga dari pintu gerbang sebuah gedung. Weddding Hall-nya terletak di basement.

Musik meriah a la Turki menyambut kami setibanya di lantai Wedding Hall. Sekelompok wanita sedang menari beramai-ramai khas Turki di iringi musik membahana, walau kurang sedap didengar karena dialunkan oleh sound system kualitas rendah.

Rombongan kami segera mendapat pelukan dan ciuman di pipi serta ucapan selamat datang dari kaum perempuan dari pihak calon mempelai wanita, termasuk dari si calon mempelai yang terlihat cantik dalam balutan gaun a la puteri kerajaan, berwarna broken white. Lalu kami segera mencari kursi yang berada di seputar lantai dansa untuk duduk dan menikmati kemeriahan musik dan tarian ini.

Semua yang hadir hanya kaum wanita saja, laki-laki tidak diperkenankan hadir. Musik diputar dari sebuah laptop, umumnya berupa lagu-lagu Turki populer untuk mengiringi tarian beramai-ramai yang dinamakan halaya.

Dalam rombongan kami, aku tidak mengenal siapapun kecuali ibu dan tante dari calon mempelai pria. Suamiku adalah teman dari ayah calon mempelai pria, dan aku sendiri satu kelompok pengajian dengan istrinya. Tak ingin mengasingkan diri, sesekali kujalin percakapan dengan sejumlah wanita lain yang hadir di situ. Walaupun aku satu-satunya orang asing, dan berpakaian dengan gaya yang tidak sama dengan mereka, namun rupanya tak ada satupun yang mengambil pusing untuk mewawancaraiku tentang dari mana aku berasal. Sepanjang acara yang berdurasi empat jam tersebut, aku dapat duduk dengan tenang menikmati acara.


Sabtu, 19 Mei 2012

Aku dan sepatuku

Membaca cuplikan kisah Pak Dahlan Iskan dalam bukunya “Sepatu Dahlan”, yang akan terbit pada tanggal Mei 2012 ini, mengingatkanku akan sepatuku sendiri. Kehidupan masa kecil yang serba sedehana dan prihatin melahirkan berbagai kisah yang mewarnai pahit manisnya kehidupan ini.

Sepatu sekolah, selalu hanya aku miliki sepasang saja pada satu waktu, hingga sepatu tersebut betul-betul tidak bisa dipakai lagi, maka orangtua mengupayakan untuk membeli sepasang sepatu baru. Untungnya, tak pernah sampai tak punya sepatu untuk dipakai, walau terkadang harus ke sekolah dengan sepatu basah.

Waktu itu aku masih bersekolah di SMP. Aku pulang sekolah kehujanan. Sekolahku di SMPN Rongga, berjarak dua jam berjalan kaki, entah berapa kilometer tepatnya. Enam hari dalam seminggu berjalan kaki sejauh itu, melewati pematang sawah, jalan setapak bertanah merah di antara kebun sereh wangi, lalu jalan raya berbatu kerikil, dua kali setiap harinya. Hal ini tak urung membuat keadaaannya yang terbuat dari bahan dan lem kualitas rendah tidak bisa bertahan. Ditambah dengan beberapa kali pulang sekolah kehujanan, alhasil kali ini sesampainya dirumah, sepatuku menganga lebar diantara tempelan lumpur tebal yang melapisinya sepanjang perjalanan.

Esok masih hari sekolah, dan aku perlu sepatu ini. Setelah dicuci bersih, sepasang onggokan dari karet dan kain ini dimasukkan ibu ke kantong plastik dan dibawanya ke kampung lain dimana terdapat tukang jahit sepatu. Dalam keadaaan masih basah sepatu dijahit dan dibawa pulang sore itu juga. Proses pengeringan dan perekatan lem masih harus dilakukan. Sang penjahit sepatu belum lagi mengelemnya karena sepatu sewaktu dijahit masih basah. Di depan tungku api yang menyala-nyala sepatuku aku berdirikan mengahadap api ditopang sejumlah kayu. Tidak boleh terlalu dekat pastinya, mengingat ia mudah terbakar. Dengan sabar kubolak-balik sambil menjaga keadaan api. Tak urung kesabaran habis dan betisku sudah terasa panas terpapar panasnya api tungku. Sepatu yang masih jauh dari kering, kini digantung diatas tunggu yang apinya sudah dimatikan, hanya sekedar tersisa panasnya saja.

Lepas isya sepatu cukup kering bagian sisi luarnya, dan akupun berupaya menempelkan lem berbau menyengat yang selalu ibu simpan di laci mesin jahitnya. Ujung alas karet yang membentuk lidah mencuat dari bawah keatas di bagian depan, khas sepatu olahraga, khusus aku beri lem banyak-banyak, demikian juga sepanjang sisi alasnya. Untuk membuat bagian yang dilem menempel sesuai keinginan, kedua hidung sepatu ditekan kedinding, dan dibelakangnya ditahan dengan sebongkah batu. Kemudian dibagian atasnya aku letakkan dua potong kayu bakar.

Pagi berikutnya, bagian-bagian yang dilem sudah cukup kering walaupun kini penampilannya menjadi gepeng karena dihimpit kayu semalaman. Jahitan panjang-panjang dengan benang coklat tua tebal menghiasi telapak sepatuku. Kontras dengan warna alas itu sendiri yang berwarna hitam. Kerak putih lem yang mengering terlihat di sepanjang karet sisi sepasang alas kaki itu, terutama di bagian ujungnya yang mencuat ke atas. Sisa kejayaannya setahun setengah yang lalu, berupa tulisan merk dalam huruf italic “Eagle”, masih menempel di kedua sisinya. Namun kini tua dan menderita, dengan berbagai jahitan dan lem. Bagian dalam sepatu yang tak cukup mengalami proses pengeringan, masih menyimpan air. Basah terasa menembus kaus kaki sekolahku yang berwarna putih. Tak kuhiraukan, dengan pertimbangan nanti akan kukeringkan sesampainya di sekolah.

Jika tak ingin terlambat, aku harus keluar rumah paling lambat pukul 05:45. Karena jam sekolah dimulai pukul tujuh pagi. Begitulah setiap pagi aku harus menembus kabut pagi dan embun di perdu-perdu yang tumbuh di sepanjang jalanan setapak yang kulewati membasahi rok biru seragam SMP-ku. Lulus SMP, aku dan sejumlah teman mendaftar ke STMN Pembangunan Bandung, salah satu sekolah yang menjadi incaran pada masa itu, tahun 1995. Aku lulus dengan nilai tertinggi di sekolahku. Namun ketika mendaftar ke STMN Pembangunan Bandung, nilai yang kubanggakan itu, tak lebih hanya satu angka lebih tinggi dari batas minimal nilai yang ditetapkan. Hal ini tentu saja membuat teman-temanku tidak bisa melewati batas nilai tersebut, dan harus mendaftar ke sekolah lain yang menetapkan batas nilai lebih rendah. Setelah dinyatakan diterima menjadi murid baru di sekolah itu, dimulailah rangkaian kegiatan yang dinamakan Orientasi Siswa Baru. Dimaksudkan untuk melatih dan menguji ketahanan mental dan fisik serta kedisiplinan siswa baru.

Salah satu peraturan yang ditetapkan pada masa Orientasi Siswa Baru adalah mengenakan sepatu hitam. Sepatu yang kubawa dari kampung, adalah sepasang sepatu murahan yang dibelikan Tanteku dipasar seharga Rp. 12.000, dengan bentuk yang dinamakan sepatu Warrior. Berwarna hitam dibagian badannya dan agak tinggi dibagian belakang, menutup mata kaki, sedangkan alas sepatu, hidung dan talinya berwarna putih. Bagian putihnya, terutama dibagian hidung sepatu, sangat menonjol sehingga tidak mungkin sepatu ini dinamakan sepatu hitam. Tidak ada uang untuk membeli sepatu hitam baru, membuatku memodifikasi sang sepatu Warrior itu supaya memenuhi aturan. Sebatang spidol permanen besar menjadi jawaban. Kuwarnai semua bagian putih sebisanya dengan tinda spidol, termasuk juga tali-talinya.

Agak ganjil dan memaksakan diri, namun jadilah. Esok harinya disekolah, ketika seorang senior memeriksaku dalam barisan murid baru matanya mengungkapkan penghinaan atas kepapaan keadaanku itu. Empat tahun kemudian sejak masa itu, aku sudah bisa membeli sepatuku sendiri dengan model dan warna yang aku inginkan, karena aku sudah mulai bekerja. Namun kenangan akan kebersahajaan masa kecilku tetap berbekas sepanjang hayatku.

***