Kamis, 24 Mei 2012

Napak tilas jejak maya sang detektif, Hercule Poirot, di Sirkeci Train Station, Istanbul

Resepsi pernikahan a la Turki: Bukan bergelimang makanan, namun koin emas dan uang kertas

Resepsi pernikahan anak tetangga kami, dilaksanakan pada hari minggu, dimulai dari pukul satu siang dan berakhir pukul lima sore. Ada sohbet (ceramah agama) pada pukul satu hingga pukul dua tiga puluh siang. Demikian tertulis pada kartu undangan pernikahan yang kami terima. Pesta pernikahan ini adalah pesta pernikahan dari mempelai wanita yang malam bainai-nya aku hadiri malam sebelumnya.


Sesampainya kami di wedding hall, hadirin sudah duduk mengelilingi sejumlah meja untuk mendengarkan sohbet. Pasangan pengantin duduk di kursi merapat ke dinding, menghadap ke hadirin.  Sedangkan hoca (ustadz)  yang sedang memberikan sohbet juga duduk tak jauh dari pasangan pengantin.


Mempelai wanita  mengenakan gaun putih a la Eropa namun dengan tutup kepala dari bahan yang sama dengan gaunnya. Adapun mempelai laki-laki mengenakan setelan jas. Sejumlah anak-anak perempuan kecil bergaun putih bermain-main di lantai yang luas antara deretan pengantin dan Hoca serta para hadirin. Sejumlah anak kecil laki-laki terlihat asyik bermain dengan mainan gasing baru, yang rupanya dibeli dari sebuah minibar di dalam ruangan. Minibar yang dikelola oleh manajemen Wedding Hall  itu juga menjual makanan kecil dan minuman ringan. 


Aku segera mencari keluarga sang pengantin laki-laki yang rupanya sedang berdiri di sekitar hadirin. Setelah memberikan ucapan selamat, aku pun segera mencari bangku kosong di antara para undangan wanita. Suamiku dan anakku bergabung dengan tamu undangan laki-laki di lantai atas.


Setelah Sohbet berakhir, hadirin dan kedua mempelai serta sahibul hajat berdoa bersama dipimpin oleh hoca. Kemudian kedua pengantin bangkit dari tempat duduknya untuk berdiri di tengah ruangan. Kue pengantin dibawa masuk ke tengah ruangan untuk  dipotong oleh pasangan pengantin tersebut, tentunya tak lepas dari jepretan-jepretan kamera dari kameramen wedding hall dan dari kamera-kamera saku keluarga dan para tamu.


Setelah kue dibawa keluar lagi, dua utas pita satin putih lebar dikalungkan ke masing-masing leher kedua mempelai. Panjangnya mencapai pinggang. Pita-pita tersebut akan digunakan untuk tempat menyematkan uang dan koin emas dari para undangan. Salah seorang keluarga berdiri disamping pasangan pengantin baru ini membawa bantalan jarum besar berisi ratusan jarum pentul kecil berwarna perak.


Suami dan anakku datang mencariku, lalu kami bersama-sama masuk ke antrian para undangan untuk memberikan ucapan selamat dan menyematkan tanda kasih kami kepada pasangan pengantin baru ini. Menjelang akhir acara, pita-pita satin pasangan pengantin ini sudah akan dipenuhi sematan koin emas berpita merah dan uang kertas Turkish Lira (TL). 


Uang yang diterima pengantin biasanya bernominal 20 TL, 50 TL dan 100 TL. Saat ini harga koin emas di Turki adalah 150 TL. Biasanya orang yang menyematkan koin emas adalah keluarga dekat dan sahabat dekat, atau orang yang dulunya juga pernah mendapatkan koin emas dari salah satu orang tua dari kedua mempelai.


Sementara itu piring-piring berisi biskuit dan cake diedarkan ke meja para hadirin beserta softdrink. Hanya itu saja sajian yang diberikan. Sangat berbeda dengan tradisi di Indonesia yang selalu memberikan jamuan makan istimewa kepada para tamu undangan pernikahan. 


Di Indonesia, banyak yang sengaja tidak makan dulu jika akan menghadiri undangan pernikahan. Karena makanan yang tersedia biasanya melimpah, tak hanya makanan utama, namun juga kue-kue, es krim, buah-buahan dan bahkan gubuk-gubuk yang menyajikan jajanan semacam bakso, siomay, pempek dan lain lain. Namun jika anda sengaja mengosongkan perut sebelum menghadiri resepsi pernikahan di Turki, khususnya Istanbul, tentunya kelaparan yang akan didapat. Seperti peribahasa, lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain belalang.


Tidak, saya tidak mengatakan bahwa orang Turki pelit. Jika anda menjadi tamu di rumah mereka, anda akan diperlakukan bagaikan raja. Dari mulai jaket anda yang akan diambil dan digantungkan di gantungan jaket, diambilkan sandal rumah, hingga dihidangkan makanan yang tak putus-putus di depan anda. Dari mulai sup krim lentil yang lembut nan gurih itu, lalu makanan utama berupa masakan daging atau ikan dengan nasi lemak, masih ditambah dengan roti, salad dan berbagai makanan sampingan lainnya. Lepas itu menyusul teh turki yang disebut çay dan kue-kue ataupun cake, plus berbagai jenis kacang-kacangan, menyertai obrolan dengan tuan rumah. Hidangan akan disudahi dengan sajian beraneka-rupa buah. 


Namun di pesta pernikahan, anda hanya akan mendapati cake dan softdrink. Banyak dari tamu undangan yang bahkan tidak menyempatkan diri untuk mencicipi hidangan tersebut, melainkan langsung pulang setelah menyematkan uang atau koin emas. Begitu juga dengan kami, setelah suamiku menyematkan selembar uang kertas 100 TL ke pita satin pengantin laki-laki, dan aku memberikan ucapan selamat dan pelukan kepada pengantin perempuan yang tangannya dipenuhi gelang emas itu, kami pun segera undur diri. Rumah kami hanya satu blok saja dari gedung tempat wedding hall ini berada.

Rabu, 23 Mei 2012

Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (5-habis)


Para gadis pengiring yang berjalan perlahan mengelilingi sang gadis calon pengantin tersebut, kemudian berhenti. Wanita pembawa baki berisi henna yang dihiasi lilin-lilin kecil tersebut lalu memutarkan baki tersebut di seputar badan di gadis. Lalu salah satu kerabat wanita dari pihak calon pengantin laki-laki, bisa kakak perempuannya ataupun kakak iparnya, akan mengambil segumpal henna dari baki dan memoleskannya ke telapak tangan sang gadis, kanan dan kiri. Lalu sebuah koin emas akan diletakkan di telapak tangan kirinya. Telapak-telapak tangan berhenna ini akan dikepalkan, dan salah satu kerabat wanita dari pihak calon pengantin laki-laki akan menyarungi kedua kepalan tangan tersebut dengan sarung tangan serupa sarung tangan bayi berwarna merah terbuat dari brokat. Maka selesailah prosesi pemborehan henna ini. Lampu-lampu di ruangan kembali dinyalakan. Kerudung merah yang menutupi muka sang gadis disibakkan kebelakang. Make-up sang gadis yang rusak karena air mata diperbaiki, dan acara pengambilan foto dimulai.
Kembali  ceria

Musik kembali diputar. Sang gadis pun berganti pakaian untuk yang terakhir kalinya. Keceriaan dan tawa kembali menggantikan tangisan yang mengharu-biru tadi. Dansa masih berlangsung hingga satu jam kedepan, saat waktu menunjukkan pukul sebelas malam.

Sementara itu, para tamu memberi ucapan selamat, pelukan dan ciuman di pipi kepada keluarga sahibul hajat dari kedua belah pihak. Sang calon pengantinpun berkali-kali mendapatkan interupsi ditengah tariannya untuk mendapatkan ucapan selamat dan berfoto bersama.

Berfoto bersama
Sekitar pukul 10.30 malam, dua kakak lelaki sang gadis dan calon suaminya masuk ke wedding hall dan turut menari bersama. Tepat pukul sebelas malam musik dihentikan karena masa penyewaan ruangan sudah habis.

Demikianlah acara Kına Gecesi ini berakhir, sedangkan esok adalah hari besar bagi pasangan ini, yaitu pesta pernikahan mereka. Kami para kerabat dan tetangga dari pihak calon pengantin laki-laki menuju mobil penjemputan kami untuk kembali ke kampung kami di Merkez Mahallesi (kampung tengah), Gaziosmanpaşa.

Sesampainya di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Suamiku menyambutku dengan sejumlah pertanyaan tentang kesan-kesanku menghadiri acara Kına Gecesi untuk pertama kalinya dalam hidupku.
***

Senin, 21 Mei 2012

Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (4)

Lama-lama semangatku berpesta habis juga, rasa bosan melanda. Hampir tiga jam sudah, dari sejak kedatangan kami pukul tujuh petang tadi, musik dan dansa masih saja berlangsung. Tak ada makanan ataupun minuman sebagai perintang waktu. Perut mulai lapar dan telinga mulai kurang bisa mentoleransi bunyi-bunyian keras ini. Kepalaku juga mulai pusing, ini adalah penyakitku yang biasa kala melihat orang dalam jumlah banyak.

Tak lama setelah aku mulai berfikir-fikir untuk melarikan diri dari acara ini, walaupun tentu saja tidak mungkin (aku tidak membawa kendaraan ataupun uang untuk taksi. Dan tempat ini, Piyalepaşa, adalah sebuah tempat di seberang Golden Horn, cukup jauh dari rumahku di Gaziosmanpaşa), Periha, kakak perempuan dari calon mempelai laki-laki mulai membagikan kantong kecil dari kain dihiasi renda, berisi kacang-kacangan. Lumayan, daripada tidak ada makanan sama sekali.

Sekitar 20 menit menjelang pukul sepuluh malam, musik dihentikan. Calon pengantin wanita masuk ke ruang ganti pakaian dan beberapa saat kemudian keluar lagi dengan memakai setelan celana dan tunik dari kain brokat merah serta kerudung brokat merah berpayet yang ditutupkan menutupi kepala dan wajahnya. Ia diiringi sejumlah gadis lain yang di telapak tangannya memegang piring kecil dengan sebatang lilin pendek yang menyala. Kepala gadis-gadis tersebut dihiasi bando yang ditempeli bunga-bunga imitasi dan berekor kain organdy merah yang menjuntai di belakang kepala, seperti kerudung pengantin. Iring-iringan itu dikepalai oleh seorang wanita yang membawa baki bulat di kedua tangannya. Baki tersebut berisi henna yang telah diaduk dengan air menjadi adonan yang bisa dipulung. Adonan ini diratakan ditengah baki bulat tersebut dikelilingi sejumlah lilin kecil yang menyala.

Sang calon mempelai wanita kemudian didudukkan di sebuah kursi di tengah lantai dansa. Rombongan yang mengiringinya membentuk lingkaran disekitarnya. Lampu di ruangan kemudian dimatikan semua, sehingga cahaya yang ada hanya berasal dari sejumlah lilin kecil di tangan para gadis pengiring dan di baki bulat berisi henna. Seorang wanita maju ke tengah lingkaran dan mulai menyanyikan lagu khusus untuk acara kına gecesi.

Lagu yang dinamakan Kına Gecesi Türküsü ini berlirik sedih, tentang gadis yang akan pergi meninggalkan keluarga dan kampung halamannya, untuk tinggal bersama suaminya. Sang pemegang baki dan para gadis pengiring berjalan perlahan mengelilingi sang calon pengantin sementara kına gecesi türküsü dinyanyikan. Momen ini sangat menyentuh hati, bahkan bagi yang tidak mengerti arti syair yang di nyanyikannya. Nada-nadanya yang haru sudah cukup membuat orang asing seperti sayapun merasa ikut larut dalam kesedihan sang gadis yang sedang menjalani malam terakhir bersama keluarganya. Sang gadis calon pengantin mulai menangis, demikian juga sejumlah keluarga dekat perempuannya.

Berikut salah satu contoh dari sekian banyak kına gecesi türküsü:

Menangis
Kınami yogurduler hamur ettiler anam
Gözlerimun yaşini yağmur ettiler anam
Gözlerimun yaşini yağmur ettiler anam

Ağlama canum anam ben gelin oldum gelin
Şu üç günün içinde ben elin oldum elin
Şu üç günün içinde ben elin oldum elin

Ben senden ayrilmazdıum eller ayirdi anam
Senin bu yokluğuna nasil dayansam anam
Senin bu yoklğuna nasil dayansam anam

Artinya dalam Bahasa Indonesia:
Henna-ku sudah mereka jadikan adonan, Ibu
Air mataku mereka kucurkan serupa hujan, Ibu
Air mataku mereka kucurkan serupa hujan, Ibu

Jangan menangis Ibuku sayang, aku telah menjadi seorang menantu, seorang menantu
Dalam tiga hari ini aku telah berada dalam pelukanmu, dalam pelukanmu
Dalam tiga hari ini aku telah berada dalam pelukanmu, dalam pelukanmu

Aku tak bisa berpisah darimu Ibu, tanganku tak bisa berpisah, Ibu
Bagaimana aku akan sanggup berpisah denganmu Ibu
Bagaimana aku akan sanggup berpisah denganmu Ibu


Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (3)

Calom pengantin memegang sapu tangan merah


Sang calon mempelai perempuan terus berganti-ganti kostum setiap sekitar 45 menit. Setiap selesai berganti kostum ia akan segera masuk ke lantai dansa dan menari, yang kemudian segera disambut penari lainnya. Kostum sang gadis terdiri dari sejumlah gaun a la puteri kerajaan, dengan warna broken white, emas, kuning. Lalu pakaian tradisional Turki, yang terdiri dari setelan celana menggembung dan vest, berwarna putih dengan hiasan bunga-bungaan dari manik-manik dan kain organdy.

Hadirin memakai pakaian-pakaian terbaiknya. Sebagian besar hadirin memakai jilbab, yang terkadang menjadi kombinasi lucu dengan rok setengah betis yang dikenakannya, walaupun sepasang kakinya terbalut stocking. Sejumlah keluarga dekat dari  kedua calon mempelai memakai pakaian pesta yang kelihatannya khusus dibeli atau dijahitkan untuk acara ini. Hiasan payet berkilauan diatas gaun dengan bahan velvet ataupun satin, cukup menyilaukan mata. Gaun-gaun istimewa ini dikenakan dengan dilengkapi sepasang sepatu hak stiletto yang dihiasi aksesories manik-manik yang tak kalah berkilau dengan bajunya. Kerudung-kerudung yang dikenakan bermerk Armine, Vakko, Pierre Cardin dan Aker, produsen garmen yang terkenal di Turki. Pakaian gemerlapan ini hanya ditampilkan di dalam ruangan saja, diantara para wanita, karena ketika keluar ruangan nanti mereka akan kembali mengenakan raincoat panjang yang dinamakan pardesu.

Aku sendiri cukup nyaman dengan gaun hitam dengan hiasan payet di dada serta kerudung hitam berbentuk syal yang kupakai melingkar a la Arab. Kerudung ini istimewa sekali buatku karena merupakan kenang-kenangan perpisahan dari sahabat-sahabatku di tempat kerjaku dulu. Sepatu yang kukenakan merk Apple Green, ber-hak sedang. Tas pestaku berwarna perak, merk ananas, merupakan hadiah dari sahabat-sahabatku juga.


Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (2)

Calon pengantin dalam gaun ungu
Malam ini adalah malam bainai, yang dinamakan Kına Gecesi dalam bahasa Turki (kına=henna/inai; gece=malam). Merupakan malam yang sangat penting dalam hidup seorang gadis. Boleh dibilang malam terakhir ia sebagai seorang gadis, karena esok harinya adalah hari pernikahannya.

Sang calon mempelai wanita terus menari untuk setiap lagu, suka atau tidak suka, karena ini merupakan pestanya. Salah satu hadirin akan menyambut sebelah tangannya dan mengaitkan kelingking dengan kelingking. Lalu yang lainnya akan datang dan menyambung jalinan kelingking tersebut sehingga membentuk sebaris penari yang cukup panjang. Diatara dua penari dengan kelingking yang bertautan, terjuntai saputangan dari manik-manik berkilau. saputangan-saputangan tersebut berwarna emas, perak, merah dan ungu. Salah satu sudut saputangan memiliki ujung berbentuk cincin untuk diselipkan di jari. Sapu tangan ini diputar-putarkan seiring gerakan tari yang dinamis dan meriah.

Terus terang saja, walaupun musik yang terdengar tidak jelas karena buruknya kualitas sound system, namun kemeriahannya membuatku ingin turut menari. Karena ibunda calon mempelai pria alias tetanggaku tersebut juga mengajakku, akhirnya akupun turut menari bersama mereka. Sebentar saja, karena musik segera berganti. Kelompok penari yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang menari lebih dinamis, segera memasuki arena. Sedangkan aku, tak mengenal siapapun kecuali sekelompok wanita lanjut usia ini, memilih kembali ke tempat dudukku semula. Mungkin di kesempatan lain jika aku datang dengan kenalan-kenalan yang seusiaku, aku bisa turut menari lebih lama.


Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (1)

Tulisan ini telah diudarakan oleh Voice of Radio Republik Indonesia, acara Bilik Sastra pada tanggal 5 Agustus 2012.
-----------------------------------------------------------------------------
Sabtu malam yang cerah di Istanbul. Waktu menunjukkan pukul 06.30 sore. Di luar masih terang karena musim semi sedang beranjak ke musim panas. Aku bergegas keluar bangunan apartemen yang kami tinggali menuju bangunan apartemen tetanggaku yang hanya berjarak beberapa blok saja. Di depan bangunan apartemen-nya sudah terparkir sebuah mobil van putih. Kendaraan tersebut akan digunakan untuk mengangkut kami, para tetangga dan kerabat, untuk menuju ke acara Kına Gecesi, atau malam bainai, jika dalam tradisi Indonesia.

Tarian Halaya
Kami adalah rombongan dari pihak laki-laki. Kına Gecesi umumnya diselenggarakan oleh pihak perempuan dan dihadiri oleh kaum perempuan dari kedua belah pihak. Bertolak dengan mobil van sewaan ini dan sejumlah sedan pribadi, kami menuju ke sebuah Wedding Hall, yang dinamakan Duğun Sara dalam bahasa Turki (duğun=pernikahan, saray=istana). Wedding hall ini terletak tak jauh dari kediaman calon mempelai wanita, sekitar 45 menit-1 jam perjalanan dari daerah tempat kami tinggal. Setibanya di sana, kami langsung menuruni tangga dari pintu gerbang sebuah gedung. Weddding Hall-nya terletak di basement.

Musik meriah a la Turki menyambut kami setibanya di lantai Wedding Hall. Sekelompok wanita sedang menari beramai-ramai khas Turki di iringi musik membahana, walau kurang sedap didengar karena dialunkan oleh sound system kualitas rendah.

Rombongan kami segera mendapat pelukan dan ciuman di pipi serta ucapan selamat datang dari kaum perempuan dari pihak calon mempelai wanita, termasuk dari si calon mempelai yang terlihat cantik dalam balutan gaun a la puteri kerajaan, berwarna broken white. Lalu kami segera mencari kursi yang berada di seputar lantai dansa untuk duduk dan menikmati kemeriahan musik dan tarian ini.

Semua yang hadir hanya kaum wanita saja, laki-laki tidak diperkenankan hadir. Musik diputar dari sebuah laptop, umumnya berupa lagu-lagu Turki populer untuk mengiringi tarian beramai-ramai yang dinamakan halaya.

Dalam rombongan kami, aku tidak mengenal siapapun kecuali ibu dan tante dari calon mempelai pria. Suamiku adalah teman dari ayah calon mempelai pria, dan aku sendiri satu kelompok pengajian dengan istrinya. Tak ingin mengasingkan diri, sesekali kujalin percakapan dengan sejumlah wanita lain yang hadir di situ. Walaupun aku satu-satunya orang asing, dan berpakaian dengan gaya yang tidak sama dengan mereka, namun rupanya tak ada satupun yang mengambil pusing untuk mewawancaraiku tentang dari mana aku berasal. Sepanjang acara yang berdurasi empat jam tersebut, aku dapat duduk dengan tenang menikmati acara.


Sabtu, 19 Mei 2012

Aku dan sepatuku

Membaca cuplikan kisah Pak Dahlan Iskan dalam bukunya “Sepatu Dahlan”, yang akan terbit pada tanggal Mei 2012 ini, mengingatkanku akan sepatuku sendiri. Kehidupan masa kecil yang serba sedehana dan prihatin melahirkan berbagai kisah yang mewarnai pahit manisnya kehidupan ini.

Sepatu sekolah, selalu hanya aku miliki sepasang saja pada satu waktu, hingga sepatu tersebut betul-betul tidak bisa dipakai lagi, maka orangtua mengupayakan untuk membeli sepasang sepatu baru. Untungnya, tak pernah sampai tak punya sepatu untuk dipakai, walau terkadang harus ke sekolah dengan sepatu basah.

Waktu itu aku masih bersekolah di SMP. Aku pulang sekolah kehujanan. Sekolahku di SMPN Rongga, berjarak dua jam berjalan kaki, entah berapa kilometer tepatnya. Enam hari dalam seminggu berjalan kaki sejauh itu, melewati pematang sawah, jalan setapak bertanah merah di antara kebun sereh wangi, lalu jalan raya berbatu kerikil, dua kali setiap harinya. Hal ini tak urung membuat keadaaannya yang terbuat dari bahan dan lem kualitas rendah tidak bisa bertahan. Ditambah dengan beberapa kali pulang sekolah kehujanan, alhasil kali ini sesampainya dirumah, sepatuku menganga lebar diantara tempelan lumpur tebal yang melapisinya sepanjang perjalanan.

Esok masih hari sekolah, dan aku perlu sepatu ini. Setelah dicuci bersih, sepasang onggokan dari karet dan kain ini dimasukkan ibu ke kantong plastik dan dibawanya ke kampung lain dimana terdapat tukang jahit sepatu. Dalam keadaaan masih basah sepatu dijahit dan dibawa pulang sore itu juga. Proses pengeringan dan perekatan lem masih harus dilakukan. Sang penjahit sepatu belum lagi mengelemnya karena sepatu sewaktu dijahit masih basah. Di depan tungku api yang menyala-nyala sepatuku aku berdirikan mengahadap api ditopang sejumlah kayu. Tidak boleh terlalu dekat pastinya, mengingat ia mudah terbakar. Dengan sabar kubolak-balik sambil menjaga keadaan api. Tak urung kesabaran habis dan betisku sudah terasa panas terpapar panasnya api tungku. Sepatu yang masih jauh dari kering, kini digantung diatas tunggu yang apinya sudah dimatikan, hanya sekedar tersisa panasnya saja.

Lepas isya sepatu cukup kering bagian sisi luarnya, dan akupun berupaya menempelkan lem berbau menyengat yang selalu ibu simpan di laci mesin jahitnya. Ujung alas karet yang membentuk lidah mencuat dari bawah keatas di bagian depan, khas sepatu olahraga, khusus aku beri lem banyak-banyak, demikian juga sepanjang sisi alasnya. Untuk membuat bagian yang dilem menempel sesuai keinginan, kedua hidung sepatu ditekan kedinding, dan dibelakangnya ditahan dengan sebongkah batu. Kemudian dibagian atasnya aku letakkan dua potong kayu bakar.

Pagi berikutnya, bagian-bagian yang dilem sudah cukup kering walaupun kini penampilannya menjadi gepeng karena dihimpit kayu semalaman. Jahitan panjang-panjang dengan benang coklat tua tebal menghiasi telapak sepatuku. Kontras dengan warna alas itu sendiri yang berwarna hitam. Kerak putih lem yang mengering terlihat di sepanjang karet sisi sepasang alas kaki itu, terutama di bagian ujungnya yang mencuat ke atas. Sisa kejayaannya setahun setengah yang lalu, berupa tulisan merk dalam huruf italic “Eagle”, masih menempel di kedua sisinya. Namun kini tua dan menderita, dengan berbagai jahitan dan lem. Bagian dalam sepatu yang tak cukup mengalami proses pengeringan, masih menyimpan air. Basah terasa menembus kaus kaki sekolahku yang berwarna putih. Tak kuhiraukan, dengan pertimbangan nanti akan kukeringkan sesampainya di sekolah.

Jika tak ingin terlambat, aku harus keluar rumah paling lambat pukul 05:45. Karena jam sekolah dimulai pukul tujuh pagi. Begitulah setiap pagi aku harus menembus kabut pagi dan embun di perdu-perdu yang tumbuh di sepanjang jalanan setapak yang kulewati membasahi rok biru seragam SMP-ku. Lulus SMP, aku dan sejumlah teman mendaftar ke STMN Pembangunan Bandung, salah satu sekolah yang menjadi incaran pada masa itu, tahun 1995. Aku lulus dengan nilai tertinggi di sekolahku. Namun ketika mendaftar ke STMN Pembangunan Bandung, nilai yang kubanggakan itu, tak lebih hanya satu angka lebih tinggi dari batas minimal nilai yang ditetapkan. Hal ini tentu saja membuat teman-temanku tidak bisa melewati batas nilai tersebut, dan harus mendaftar ke sekolah lain yang menetapkan batas nilai lebih rendah. Setelah dinyatakan diterima menjadi murid baru di sekolah itu, dimulailah rangkaian kegiatan yang dinamakan Orientasi Siswa Baru. Dimaksudkan untuk melatih dan menguji ketahanan mental dan fisik serta kedisiplinan siswa baru.

Salah satu peraturan yang ditetapkan pada masa Orientasi Siswa Baru adalah mengenakan sepatu hitam. Sepatu yang kubawa dari kampung, adalah sepasang sepatu murahan yang dibelikan Tanteku dipasar seharga Rp. 12.000, dengan bentuk yang dinamakan sepatu Warrior. Berwarna hitam dibagian badannya dan agak tinggi dibagian belakang, menutup mata kaki, sedangkan alas sepatu, hidung dan talinya berwarna putih. Bagian putihnya, terutama dibagian hidung sepatu, sangat menonjol sehingga tidak mungkin sepatu ini dinamakan sepatu hitam. Tidak ada uang untuk membeli sepatu hitam baru, membuatku memodifikasi sang sepatu Warrior itu supaya memenuhi aturan. Sebatang spidol permanen besar menjadi jawaban. Kuwarnai semua bagian putih sebisanya dengan tinda spidol, termasuk juga tali-talinya.

Agak ganjil dan memaksakan diri, namun jadilah. Esok harinya disekolah, ketika seorang senior memeriksaku dalam barisan murid baru matanya mengungkapkan penghinaan atas kepapaan keadaanku itu. Empat tahun kemudian sejak masa itu, aku sudah bisa membeli sepatuku sendiri dengan model dan warna yang aku inginkan, karena aku sudah mulai bekerja. Namun kenangan akan kebersahajaan masa kecilku tetap berbekas sepanjang hayatku.

***