Selasa, 11 November 2014

Tenaga dalam goresan pena--Bagian 1

Siapa bilang tulisan itu tidak punya daya, tulisan yang walaupun hanya gabungan kata, namun mampu mengubah dunia. Yah tak perlu berbicara terlalu hiperbola, katakanlah gara-gara sebuah status di facebook, bisa rusak hubungan antar manusia.

Saya tak hendak menggubris masalah ini, kiranya semua orang yang tergabung dalam jejaring sosial di dunia maya sudah mengetahui konsekwensi dari terbukanya pribadi setiap orang di sana, terlepas dari asli tidaknya pribadi yang ditampilkan tersebut. Dengan kata lain, bisa juga disebutkan, tergantung topeng apa yang dikenakan oleh orang tersebut di media sosial.

Kali ini saya hendak membahas berdayanya sebuah tulisan, sehingga memberi kesan mendalam yang tak mudah dihapuskan dari benak seseorang. Dan ini dibenak saya! Itu adalah sebuah tulisan sederhana dalam bahasa Sunda yang termuat dalam majalah Mangle edisi tahun 2009, beruba Cerita Bersambung yang biasa disebut "Cerber". namun dalam istilah bahasa Sunda, dinamakan "Carita Nyambung", disingkat "Carnyam".

Carnyam itu berjudul "Sobat Sang Maestro", pengarangnya saya sudah lupa. Ooh too bad, kenapa ya saya bisa lupa. Tapi jalan ceritanya saya ingat sekali dan sangat berkesan buat saya. Sampai-sampai saya googlink untuk mencari cerita lengkapnya, karena yang saya baca hanya dua bagian saja, bagian nomor sekian dan bagian akhirnya. Nah bagian akhirnya ini yang sangat berkesan buat saya.

Saya mempunyai edisi Mangle yang memuat bagian terakhir itu di rumah ibu saya di pelosok Bandung Barat. Tepatnya desa Cicadas, Kecamatan Rongga. Sayang saya tidak membawanya ke Istanbul. Penyesalan memang datangnya belakangan, kalau dimuka, itu konon namanya pendaftaran!

Ah, jadi kangen dengan sofa hijau ibu saya, tempat saya banyak menghabiskan waktu untuk membaca novel "SNOW" karya Orhan Pamuk, berbicara dengan suami saya lewat Viber, atau chattingan via Whatsap dengan teman-teman saya.

Kembali lagi ke Cerbung itu, tokoh utamanya adalah seorang wartawan muıda yang bekerja di kantor berita "ANTARA", dengan latar belakang gejolak politik Indonesia pada masa akhir pemerintahan presiden Soekarno. Awang, demikian nama wartawan muda tersebut. Di bagian yang saya baca, sahabat Awang, seorang wanita muda bernama Evie Sofia Sopandi, meninggal di RS. Carolus. Entah apa penyebabnya, di episode tersebut tidak disebutkan latar belakang kematian Evie. Asumsi saya, Evie adalah wanita muda yang cantik dan penuh semangat, berkecimpung dalam bidang seni, terutama bahwa saat itu dia sedang menekuni tari pergaulan. Dugaan saya mungkin tarian sejenis dansa. Ketika itu Evie belum lama tinggal di Jakarta. Di saat yang sama Evie adalah istri kedua dari seorang pria berdarah Padang yang bernama "Uda" Chaniago.

Bagaimanapun posisi Evie yang serba sulit sebagai istri kedua Uda, tidak membuat Evie tersisih, dan pada saat menghembuskan nafas terakhirnya, Evie dilayat oleh "Uni" sebagai istri pertama Uda. Awang dalam hal ini adalah Sahabat Evie dan sekaligus Uda. Di hari ketika Evie meninggal, Awang mendapat banyak sekali tugas meliput dan menulis berbagai hal penting yang berkaitan dengan politik. Mendengar kabar kematian Evie, Awang meminta izin kepada atasannya untuk meninggalkan kantor, yang dijawab secara negatif oleh atasannya terkait banyaknya pekerjaan yang menanti Awang. Awang menanggapi ini dengan mengundurkan diri dari posisinya sebagai wartawan dengan mengembalikan kartu pers.

Awang melaju ke RS. Carolus dan mendampingi Uda mengantarkan jenazah Evie ke Sukabumi. Disini Awang turut memulasara jenazah, menyolatkannya dan menguburkannya. Uda yang sangat terpukul atas kematian Evie ditemaninya hingga pulih lagi secara mental dan fisik. Disini penulis menceritakan secara detail bagaimana perjalanan iring-iringan mobil jenazah dan kerabat serta teman-teman almarhumah Evie, serta gambaran rumah dan alamat keluarga Evie di Sukabumi. Bagi orang sunda seperti saya, membaca kalimat-kalimat yang dituturkan penulis, rasanya begitu nyata dan diri serasa dibawa ke tempat-tempat tersebut.

Demikianlah ulasan dari salah satu episode dari cerbung "Sobat Sang Maestro" yang saya baca.
Baca juga bagian keduanya ya, yaitu bagian akhir dari Cerbung tersebut, di postingan selanjutnya.
-------


Senin, 04 Agustus 2014

Buah Tin, buah Surga

"wattiini wazzaituun...demi buah tin dan buah zaitun"

QS. At-tiin: 1

Setiap berkunjung ke kampung halaman suami untuk berlebaran iedul fitri, adalah saatnya bagi saya untuk memakan buat tin sebanyak-banyaknya. Juga buah anggur dan panen cabe pedas kesukaan saya. Saya suka sekali buah tin yang hitam, rasanya dua kali lebih manis dari tin putih. Dalam bahasa Turki buah ini dinamakan "incir", dalam bahasa latinnya "Ficus Carica". Masyarakat Turki tidak menganggap buah ini istimewa, karena pohonnya tumbuh dimana-mana seperti pohon singkong di Indonesia. Bisa liar bisa juga khusus ditanam.




Pohon tin bisa menghasilkan buah walau pohonnya masih kecil. Pohon ini juga bisa bertahan dan membesar seiring waktu. Dia berbuah setiap hari, sehingga setiap hari ada saja buah yang matang dari pohon yang sama. Buah yang kaya akan zat gula dan vitamin A,B dan C ini sangat lembut dan cepat rusak. sehingga harus segera dihabiskan, kalau tidak maka sebaiknya dijemur saja sampai kering untuk nantinya dibuat selai incir kering yang dinamakan "bestel". Bestel terkenal dari wilayah Antalya, Laut Putih.

Daerah lain di Turki bisa mengeringkan buah tin secara utuh, itu semua tergantung cuaca di wilayah tersebut. Untuk wilayah Antalya, buah tin harus dibuka supaya kering, jika tidak maka dalamnya akan tetap basah dan nantinya membusuk ketika disimpan. Turki saat ini adalah penghasil buah tin terbesar di dunia.

Selain buahnya yang bermanfaat, daun tin segar yang dihancurkan juga bisa untuk memboreh luka. Daun tin segar mengeluarkan getah berwarna susu, bisa menimbulkan luka lecet merah di kulit. Jadi harus berhati-hati ketika memetik buah tin. Walaupun getah tersebut sebetulnya juga berguna untuk mengobati penyakit kulit (semacam kutilan atau penambahan layer kulit, dalam bahasa inggris dikenal sebagai penyakit Wart atau Velucca).

Impian Çoban

Keluarga suamiku saat ini berprofesi sebagai petani. Di Kampung mereka nun di pinggir laut Mediterrania, atau laut putih (Ak Deniz dalam bahasa Turki. “Ak”=Putih; “Deniz”=laut), mereka memiliki dua buah rumah kaca yang ditanami tomat, terkadang kacang putih, dan terkadang kacang besar. Hasil bercocok tanam tersebut dijual kepada pemborong sayur mayur yang disebut “Halcı”. Kemudian Halcı akan menjualnya kembali kepada para pedagang pasar dan toko-toko sayuran, ataupun mengirimkannya ke luar kota.

Namun profesi asli mereka pada masa mudanya adalah penggembala, atau dalam bahasa turkinya “Çoban”. Penggembala biasanya memiliki domba dan kambing hingga ratusan buah. Mereka menggembala di padang-padang yang ada di dataran tinggi pegunungan Taurus (“Toros” dalam bahasa Turki).

Dataran tinggi tempat menggembala tersebut, yang dinamakan “Yayla” dalam bahasa Turki, dan “Plateau” dalam bahasa Inggris, membeku di musim dingin dan sejuk di musim panas. Oleh karenanya para penggembala biasanya bergerak menuju Yayla pada bulan juli, dan kembali ke kampungnya pada bulan September, atau menjelang iedul qurban.

Para penggembala atau çoban tersebut semuanya memiliki rumah di Yayla, baik berupa tembok permanen, maupun berupa pondok kayu dan berlantai tanah. Saat ini sebagian wilayah Yayla memiliki pipa air ledeng dan sambungan listrik. Sehingga semua fasilitas yang ada di rumah aslinya di kampung, juga ada di Yayla, seperti kulkas, mesin cuci, vacuum cleaner, televisi, dan lain-lain. Zaman sekarang ke yayla sudah bukan lagi bertujuan untuk menggembala ternak, namun untuk piknik menikmati cuaca yayla yang sejuk, bertolak belakang dengan cuaca laut Putih yang sedang panas-panas. Beberapa tahun terakhir ini banyak keluarga yang menghabiskan ramadhan satu bulan penuh di Yayla, dan kembali saat hari lebaran tiba.

Ketika memasuki bulan Juli, penduduk kampung-kampung di sekitar Laut Putih biasanya bersiap-siap dan mulai bergerak meninggalkan kampungnya dengan membawa seluruh keluarga dan hewan ternaknya. Pada masa dulu, di kampung tak ada lagi yang tertinggal, bahkan imam mesjid pun turut ke Yayla untuk menunaikan tugasnya di mesjid warga kampung tersebut yang ada di Yayla.

Dahulu kala, mobil sangat terbatas jumlahnya, sehingga rata-rata penduduk eksodus ke Yayla dengan menaiki kuda, keledai dan unta. Hewan-hewan ternaknya digiring dalam kelompok-kelompok dengan kawalan anjing gembala. Anjing gembalanya adalah anjing gembala khas Turki yang tubuhnya luar biasa besar, yang disebut “Kangal”. Anjing ini aslinya dari daerah Sivaş, sebuah provinsi di Turki.

Rombongan penggembala ini bisa berhenti dan bermalam di jalan dengan membuat tenda-tenda darurat ataupun tidur begitu saja beratapkan langit. Beberapa tempat peristirahatan Çoban memiliki warung yang menjual berbagai keperluan sehari-hari, sehingga banyak dari Çoban tersebut yang juga berbelanja untuk keperluan hidup selagi di Yayla yang tidak diproduksi alam, misalnya sabun.

Terkadang wanita yang sedang hamil bisa melahirkan di tempat peristirahatan ini, ada pula yang menemui ajalnya disitu, sehingga di beberapa tempat peristirahatan Çoban bisa kita temukan sejumlah batu nisan sederhana. Keluarga-keluarga Çoban selalu berhenti untuk berziarah dan sekedar memanjatkan Al-Fatihah untuk arwah yang dikuburkan disitu.

Perjalanan ke Yayla dari kampung suami saya, çakallar Köyu ke Çakallar Koyu Yaylası (Yayla-nya penduduk kampung Çakallar) memakan waktu sekitar 4 jam dengan mobil. Sedangkan zaman dulu, dengan berjalan kaki ditempuh selama 2 hari dua malam.
Sesampainya di Yayla, kafilah penggembala ini segera memasukkan hewan ternaknya ke kandang-kandang yang tersedia, lalu berbenah untuk menyiapkan tempat tidur, tungku api, menata simpanan makanan dan pakaian.

Yayla kami memiliki sebuah danau yang berbentuk seperti lambung, sehingga disebut “Karın Göl”, atau Danau lambung. Danau itu berguna untuk minum hewan ternak. Makanya jangan heran disepanjang pinggirannya terdapat banyak sekali kotoran hewan.

Hingga saat ini, Yayla kami belum modern seperti Yayla kampung lain. Belum ada saluran listrik dan air, jadi kami harus memakai lampu minyak dan mengangkut air ke dalam rumah dari “Çesme” atau keran air yang tersedia disitu. Ibu mertuaku sering mengulang cerita tentang peristiwa kelahiran suamiku di Yayla, dan beberapa saat sesudahnya beliau harus mengangkut air sendiri dari Çesme ke rumah untuk keperluan mandi dan lain-lain. Wanita penggembala memang sangat tangguh dalam menjalani hidup yang keras.

Rumah Yayla kuno hanya terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan untuk tidur dan satu ruangan untuk dapur. Di tengah-tengahnya terdapat koridor untuk toilet. Barang-barang diletakkan di rak gantung supaya tidak rusak, karena lantainya masih tanah. Saat ini di Yayla kampung kami sudah banyak yang rumahnya diperbaharui menjadi modern, walaupun belum ada saluran air dan listriknya.

Malam di Yayla sangat sejuk dan sepi. Pagi dipecahkan dengan suara azdan dari masjid yang ada di dalam kampung Yayla. Kemudian aktivitas Çoban dimulai dengan memeras susu hewan, memberi makan dan menyapu kotoran hewan. Dilanjutkan sarapan dan pergi menggembala ke padang-padang luas. Kaum wanita tinggal di rumah untuk memasak susu, membuat yogurt, mentega dan keju special yang dibuat didalam kantong yang terbuat dari kulit domba atau kambing. Keju ini dinamakan Tulum peynir.



Para wanita juga membuat roti bersama-sama yang dinamakan roti kampung (Köy ekmeği atau yufka), yaitu roti tipis bulat yang dipanggang di wajan bulat terbalik yang dinamakan "Saç Tava". Roti ini tahan berbulan-bulan. Mereka biasanya menumpuknya dan ditutup dengan kain yang disebut “Bohça”. Beberapa lembar yufka diambil sesuai jumlah anggota keluarga. Setiap orang biasanya dijatah 2 lembar yufka. Kemudian yufka-yufka tersebut diperciki air dikedua sisinya, lalu dibungkus dengan bohça. 10 menit kemudian bohça dibuka, dilipat dan dimasukkan ke dalam wadah bertutup yang disebuk “Ekmek Tenceresi”. Yufka-yufka tersebut yang tadinya kering seperti kerupuk telah menjadi lembut dan siap dimakan dengan daging berkuah (Yahni), daging goreng (kavurma), ataupun berbagai masakan dari sayur seperti terong, kacang atau kentang (sulu yemekler=masakan berkuah).

Ketika kafilah penggembala kembali ke kampung mereka menjelang iedul adha atau beberapa minggu setelah iedul fitri (umumnya jatuh pada bulan September), mereka membawa serta seluruh keluarga, hewan ternak, dan produk olahan dari susu yang mereka produksi selama di Yayla. Produk olahan susunya seperti yoğurt, keju dan mentega, terkenal lezat dan biasa dibeli oleh warga yang bukan Çoban, ataupun dalam skala besar, dibeli oleh restauran-restaurant ataupun hotel-hotel yang menyajikan menu sarapan a la kampung.

Kambing dan dombanya kemudian mereka jual kepada rumah potong hewan dan kepada perorangan untuk keperluan kurban. Perlu diketahui bahwa bagi masyarakat Turki, menyembelih kambing dan domba setiap tahunnya adalah wajib.

Mehmet, anak mertua saya yang tertua, dibesarkan ketika kedua mertua saya masih aktif sebagai Çoban. mereka memiliki ratusan kambing dan domba saat itu. Hingga sekarang Mehmet masih merindukan suasana Yayla dan penggembalaan. Sekarang Mehmet bekerja di salah satu hotel di pinggir Laut Putih sebagai tukang kebun. Namun di waktu luangnya, dia memelihara sejumlah kambing dan domba di halaman rumahnya. Masih di tambah lagi dengan seekor anjing gembala, sejumlah ayam, dan beberapa ekor ayam hutan berbulu cantik yang disebut "Sülün"