Kamis, 09 Agustus 2012

Ramadhan di Istanbul-1

Istanbul, pusat pemerintahan kekhalifahan islam yang terakhir, Ustmaniyyah. Walaupun Istanbul telah menjadi bagian dari negara Republik Turki yang berformat sekuler, namun masyarakat dunia umumnya masih  menganggap Turki sebagai negara islam.

Jejak islam yang begitu dalam di Istabul, kota dengan ratusan menara mesjid, tak lekang oleh waktu dan perubahan format pemerintahan serta silih bergantinya penguasa. Ramadhan, selalu menjadi bulan yang penting, sebagaimana halnya dengan di Indonesia. Semua lapisan masyarakat melakukan belanja ramadhan, lebih banyak dibandingkan untuk keperluan di bulan lainnya, mengingat di bulan ramadhan umumnya masyarakat akan saling mengundang iftar ke rumah antar keluarga dan sahabat.

Penentuan awal puasa di Istanbul dan Turki pada umumnya biasanya menurut kepada ketentuan pemerintah. Tidak seperti di Indonesia yang penentuan tanggal 1 Ramadhan biasanya di warnai dengan berbagai kegiatan dengan memantau hilal, penghitungan secara astronomis, serta berbagai rapat yang di hadiri ormas-ormas islam yang akhirnya penentuan tanggal 1 ramadhan akan ditentukan oleh Departemen Agama.

Teringat masa kecil saya di Bandung, tatkala tepat sehari sebelum ramadhan di mulai, kami diharuskan mandi keramas untuk membersihkan diri sebelum menjalani ibadah puasa. Pada hari itu di kampung kami bedug ditabuh dari pagi hingga sore untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa esok adalah 1 Ramadhan dan malamnya akan diselenggarakan sholat tarawih berjamaah di mesjid. Disini tidak ada keriuhan tersebut, sama saja seperti hari-hari biasa.

Shalat tarawih berjamaah juga diawali pada malam 1 Ramadhan. Mesjid-mesjid umumnya dipadati oleh jemaah. Pelaksanaan shalat tidak diperdengarkan dengan pengeras suara luar, jadi hanya adzan saja yang dikumandangkan lewat speaker. Jemaah wanita, melaksanakan sholat di bagian perempuan yang dibatasi oleh partisi dari kayu olahan, dan di lantai dua. Tentu saja tidak ada yang mengenakan mukena ataupun pakaian shalat khusus. Mereka hanya menggunakan pakaian biasa dan kerudung.

Mesjid penuh, namun tak jauh dari mesjid, sejumlah cafe tetap dipadati oleh kaum pria yang duduk-duduk di kursi-kursi yang sengaja di tata di depan cafe. Mereka asyik menghirup teh turki dari gelas-gelas teh mungil berbentuk tulip. Sebagian menikmati kopi Turki, sambil memainkan sejumlah permainan judi tradisional.

Cafe-cafe tersebut dalam istilah Turki dinamakan Kiraathane. Tentu saja di Turki Kiraathane hanya untuk pria. Lottere dan taruhan pacuan kuda juga merupakan hal umum di Turki, khususnya Istanbul. Dimana-mana bisa dijumpai kios kecil yang menjual lottere. Malah ada badan pemerintah yang mengurusi lottere, yaitu Milli Piyango. Adapun penjual taruhan pacuan kuda biasanya kiosnya cukup besar, kira-kira sebesar toko ukuran sedang, dan dilengkapi sejumlah pasangan meja-kursi dan layar-layar televisi yang terpasang ke dinding, untuk memantau pacuan. Bulan Ramadhan tidak menjadi halangan buat penyuka lottere dan taruhan untuk mencari keberuntungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar