Sabtu, 19 Mei 2012

Aku dan sepatuku

Membaca cuplikan kisah Pak Dahlan Iskan dalam bukunya “Sepatu Dahlan”, yang akan terbit pada tanggal Mei 2012 ini, mengingatkanku akan sepatuku sendiri. Kehidupan masa kecil yang serba sedehana dan prihatin melahirkan berbagai kisah yang mewarnai pahit manisnya kehidupan ini.

Sepatu sekolah, selalu hanya aku miliki sepasang saja pada satu waktu, hingga sepatu tersebut betul-betul tidak bisa dipakai lagi, maka orangtua mengupayakan untuk membeli sepasang sepatu baru. Untungnya, tak pernah sampai tak punya sepatu untuk dipakai, walau terkadang harus ke sekolah dengan sepatu basah.

Waktu itu aku masih bersekolah di SMP. Aku pulang sekolah kehujanan. Sekolahku di SMPN Rongga, berjarak dua jam berjalan kaki, entah berapa kilometer tepatnya. Enam hari dalam seminggu berjalan kaki sejauh itu, melewati pematang sawah, jalan setapak bertanah merah di antara kebun sereh wangi, lalu jalan raya berbatu kerikil, dua kali setiap harinya. Hal ini tak urung membuat keadaaannya yang terbuat dari bahan dan lem kualitas rendah tidak bisa bertahan. Ditambah dengan beberapa kali pulang sekolah kehujanan, alhasil kali ini sesampainya dirumah, sepatuku menganga lebar diantara tempelan lumpur tebal yang melapisinya sepanjang perjalanan.

Esok masih hari sekolah, dan aku perlu sepatu ini. Setelah dicuci bersih, sepasang onggokan dari karet dan kain ini dimasukkan ibu ke kantong plastik dan dibawanya ke kampung lain dimana terdapat tukang jahit sepatu. Dalam keadaaan masih basah sepatu dijahit dan dibawa pulang sore itu juga. Proses pengeringan dan perekatan lem masih harus dilakukan. Sang penjahit sepatu belum lagi mengelemnya karena sepatu sewaktu dijahit masih basah. Di depan tungku api yang menyala-nyala sepatuku aku berdirikan mengahadap api ditopang sejumlah kayu. Tidak boleh terlalu dekat pastinya, mengingat ia mudah terbakar. Dengan sabar kubolak-balik sambil menjaga keadaan api. Tak urung kesabaran habis dan betisku sudah terasa panas terpapar panasnya api tungku. Sepatu yang masih jauh dari kering, kini digantung diatas tunggu yang apinya sudah dimatikan, hanya sekedar tersisa panasnya saja.

Lepas isya sepatu cukup kering bagian sisi luarnya, dan akupun berupaya menempelkan lem berbau menyengat yang selalu ibu simpan di laci mesin jahitnya. Ujung alas karet yang membentuk lidah mencuat dari bawah keatas di bagian depan, khas sepatu olahraga, khusus aku beri lem banyak-banyak, demikian juga sepanjang sisi alasnya. Untuk membuat bagian yang dilem menempel sesuai keinginan, kedua hidung sepatu ditekan kedinding, dan dibelakangnya ditahan dengan sebongkah batu. Kemudian dibagian atasnya aku letakkan dua potong kayu bakar.

Pagi berikutnya, bagian-bagian yang dilem sudah cukup kering walaupun kini penampilannya menjadi gepeng karena dihimpit kayu semalaman. Jahitan panjang-panjang dengan benang coklat tua tebal menghiasi telapak sepatuku. Kontras dengan warna alas itu sendiri yang berwarna hitam. Kerak putih lem yang mengering terlihat di sepanjang karet sisi sepasang alas kaki itu, terutama di bagian ujungnya yang mencuat ke atas. Sisa kejayaannya setahun setengah yang lalu, berupa tulisan merk dalam huruf italic “Eagle”, masih menempel di kedua sisinya. Namun kini tua dan menderita, dengan berbagai jahitan dan lem. Bagian dalam sepatu yang tak cukup mengalami proses pengeringan, masih menyimpan air. Basah terasa menembus kaus kaki sekolahku yang berwarna putih. Tak kuhiraukan, dengan pertimbangan nanti akan kukeringkan sesampainya di sekolah.

Jika tak ingin terlambat, aku harus keluar rumah paling lambat pukul 05:45. Karena jam sekolah dimulai pukul tujuh pagi. Begitulah setiap pagi aku harus menembus kabut pagi dan embun di perdu-perdu yang tumbuh di sepanjang jalanan setapak yang kulewati membasahi rok biru seragam SMP-ku. Lulus SMP, aku dan sejumlah teman mendaftar ke STMN Pembangunan Bandung, salah satu sekolah yang menjadi incaran pada masa itu, tahun 1995. Aku lulus dengan nilai tertinggi di sekolahku. Namun ketika mendaftar ke STMN Pembangunan Bandung, nilai yang kubanggakan itu, tak lebih hanya satu angka lebih tinggi dari batas minimal nilai yang ditetapkan. Hal ini tentu saja membuat teman-temanku tidak bisa melewati batas nilai tersebut, dan harus mendaftar ke sekolah lain yang menetapkan batas nilai lebih rendah. Setelah dinyatakan diterima menjadi murid baru di sekolah itu, dimulailah rangkaian kegiatan yang dinamakan Orientasi Siswa Baru. Dimaksudkan untuk melatih dan menguji ketahanan mental dan fisik serta kedisiplinan siswa baru.

Salah satu peraturan yang ditetapkan pada masa Orientasi Siswa Baru adalah mengenakan sepatu hitam. Sepatu yang kubawa dari kampung, adalah sepasang sepatu murahan yang dibelikan Tanteku dipasar seharga Rp. 12.000, dengan bentuk yang dinamakan sepatu Warrior. Berwarna hitam dibagian badannya dan agak tinggi dibagian belakang, menutup mata kaki, sedangkan alas sepatu, hidung dan talinya berwarna putih. Bagian putihnya, terutama dibagian hidung sepatu, sangat menonjol sehingga tidak mungkin sepatu ini dinamakan sepatu hitam. Tidak ada uang untuk membeli sepatu hitam baru, membuatku memodifikasi sang sepatu Warrior itu supaya memenuhi aturan. Sebatang spidol permanen besar menjadi jawaban. Kuwarnai semua bagian putih sebisanya dengan tinda spidol, termasuk juga tali-talinya.

Agak ganjil dan memaksakan diri, namun jadilah. Esok harinya disekolah, ketika seorang senior memeriksaku dalam barisan murid baru matanya mengungkapkan penghinaan atas kepapaan keadaanku itu. Empat tahun kemudian sejak masa itu, aku sudah bisa membeli sepatuku sendiri dengan model dan warna yang aku inginkan, karena aku sudah mulai bekerja. Namun kenangan akan kebersahajaan masa kecilku tetap berbekas sepanjang hayatku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar