Senin, 21 Mei 2012

Tertawa dan menangis di malam bainai a la Turki (1)

Tulisan ini telah diudarakan oleh Voice of Radio Republik Indonesia, acara Bilik Sastra pada tanggal 5 Agustus 2012.
-----------------------------------------------------------------------------
Sabtu malam yang cerah di Istanbul. Waktu menunjukkan pukul 06.30 sore. Di luar masih terang karena musim semi sedang beranjak ke musim panas. Aku bergegas keluar bangunan apartemen yang kami tinggali menuju bangunan apartemen tetanggaku yang hanya berjarak beberapa blok saja. Di depan bangunan apartemen-nya sudah terparkir sebuah mobil van putih. Kendaraan tersebut akan digunakan untuk mengangkut kami, para tetangga dan kerabat, untuk menuju ke acara Kına Gecesi, atau malam bainai, jika dalam tradisi Indonesia.

Tarian Halaya
Kami adalah rombongan dari pihak laki-laki. Kına Gecesi umumnya diselenggarakan oleh pihak perempuan dan dihadiri oleh kaum perempuan dari kedua belah pihak. Bertolak dengan mobil van sewaan ini dan sejumlah sedan pribadi, kami menuju ke sebuah Wedding Hall, yang dinamakan Duğun Sara dalam bahasa Turki (duğun=pernikahan, saray=istana). Wedding hall ini terletak tak jauh dari kediaman calon mempelai wanita, sekitar 45 menit-1 jam perjalanan dari daerah tempat kami tinggal. Setibanya di sana, kami langsung menuruni tangga dari pintu gerbang sebuah gedung. Weddding Hall-nya terletak di basement.

Musik meriah a la Turki menyambut kami setibanya di lantai Wedding Hall. Sekelompok wanita sedang menari beramai-ramai khas Turki di iringi musik membahana, walau kurang sedap didengar karena dialunkan oleh sound system kualitas rendah.

Rombongan kami segera mendapat pelukan dan ciuman di pipi serta ucapan selamat datang dari kaum perempuan dari pihak calon mempelai wanita, termasuk dari si calon mempelai yang terlihat cantik dalam balutan gaun a la puteri kerajaan, berwarna broken white. Lalu kami segera mencari kursi yang berada di seputar lantai dansa untuk duduk dan menikmati kemeriahan musik dan tarian ini.

Semua yang hadir hanya kaum wanita saja, laki-laki tidak diperkenankan hadir. Musik diputar dari sebuah laptop, umumnya berupa lagu-lagu Turki populer untuk mengiringi tarian beramai-ramai yang dinamakan halaya.

Dalam rombongan kami, aku tidak mengenal siapapun kecuali ibu dan tante dari calon mempelai pria. Suamiku adalah teman dari ayah calon mempelai pria, dan aku sendiri satu kelompok pengajian dengan istrinya. Tak ingin mengasingkan diri, sesekali kujalin percakapan dengan sejumlah wanita lain yang hadir di situ. Walaupun aku satu-satunya orang asing, dan berpakaian dengan gaya yang tidak sama dengan mereka, namun rupanya tak ada satupun yang mengambil pusing untuk mewawancaraiku tentang dari mana aku berasal. Sepanjang acara yang berdurasi empat jam tersebut, aku dapat duduk dengan tenang menikmati acara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar